Jumat, 28 Maret 2014

Keluar dari Impor Pangan

Jumat, 28 Maret 2014

INDONESIA adalah pengimpor pangan yang sangat besar. Nilainya sekitar 9 miliar dollar AS, atau setara lebih dari Rp 100 triliun, setiap tahun dan angka ini terus membesar dari tahun ke tahun.
Menurut GreenPool Commodities (Australia), Indonesia menjadi importir gula terbesar dunia di tahun 2013, menggeser China dan Rusia.

Pada tiga tahun terakhir, setiap tahun rata-rata Indonesia mengimpor 1,5 juta ton garam (50 persen kebutuhan garam nasional), 70 persen kebutuhan kedelai nasional, 12 persen kebutuhan jagung, 15 persen kebutuhan kacang tanah, 90 persen kebutuhan bawang putih, 30 persen konsumsi daging sapi nasional, 70 persen kebutuhan susu; sementara impor buah (jeruk mandarin, apel, anggur, pir) dan sayuran  juga terus meningkat.

Jika tidak mampu meningkatkan produksi pangannya, Indonesia akan terus mengalami defisit neraca perdagangan pangan, yang telah menguras devisa kita dan memperlemah nilai tukar rupiah. Di tahun 2012, defisit perdagangan subsektor tanaman pangan mencapai 6,7 miliar dollar AS, hortikultura 1,3 miliar dollar AS, serta peternakan 2,9 miliar dollar AS. Di tahun 2013 (data sampai September) subsektor tanaman pangan defisit 3,8 miliar dollar AS, dengan hortikultura defisit 876,9 juta dollar AS, dan peternakan defisit 1,66 miliar dollar AS.

Indonesia perlu segera meningkatkan produksi dan kualitas pangannya secara signifikan. Hal ini mengingat penduduk yang 250 juta jiwa terbesar keempat di dunia; dengan laju pertambahan sekitar 1,3 persen per tahun. Selain itu, tingkat konsumsi pangan per kapita masih rendah, yang perlu ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya.

Kebutuhan peningkatan produksi dan kualitas pangan juga didorong oleh meningkatnya jumlah kelas menengah. Kelas menengah adalah warga negara yang pengeluaran per kapita per harinya 2 dollar AS-20 dollar AS.

Data Bank Dunia menyebutkan, pada tahun 2003, kelas menengah Indonesia mencapai 37,7 persen dari populasi; pada 2010 kelas menengah berjumlah 134 juta jiwa atau 56,5 persen populasi, dan akan terus meningkat. Membesarnya kelas menengah Indonesia membutuhkan pangan yang lebih banyak dan lebih bermutu. Karena produksi dalam negeri tak dapat memenuhinya, impor pangan meningkat sangat besar.

Memperluas lahan
Tersedianya luasan lahan pertanian yang memadai menentukan kemampuan negara untuk memproduksi pangan.

Saat ini, rasio antara luas lahan pertanian pangan yang ada dan jumlah penduduk Indonesia sangat rendah, hanya 358,5 meter persegi per kapita (lahan sawah) dan 451,1 meter persegi per kapita (ditambah lahan kering); rasio lahan per kapita Thailand 5.225,9 meter persegi per kapita, India 1.590,6 meter persegi per kapita, China 1.120,2 meter persegi per kapita, dan Vietnam 959,9 meter persegi per kapita. Kondisi inilah yang membuat Indonesia tak mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangannya.

Indonesia memiliki pengalaman membuka areal pertanian baru yang sangat luas dikaitkan dengan pemerataan persebaran penduduk, yang terkenal dengan nama program transmigrasi. Selama 63 tahun dilaksanakan sampai tahun 2013, program transmigrasi telah membuka lahan pertanian baru sekitar 4,4 juta hektar, yang dibagikan kepada sekitar 2,2 juta kepala keluarga petani atau sekitar 8,8 juta orang; bentuk distribusi tanah kepada rakyat.

Program ini sangat besar peranannya dalam menjadikan Indonesia swasembada beras di tahun 1984 hingga 1998, yang membuat Presiden Soeharto atau Pemerintah Indonesia memperoleh Food Award, penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan menjadikan Indonesia pada waktu ini produsen terbesar kelapa sawit. Sayangnya, 16 tahun terakhir, program transmigrasi, yang juga bagian dari program perluasan areal pertanian, jumlahnya sangat kecil.

Dengan perluasan lahan pertanian yang signifikan, Indonesia dapat mencapai banyak sasaran sekaligus, yaitu memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi rakyat yang akan menghemat devisa, menyediakan lapangan kerja, dan selanjutnya menjadi negara eksportir pangan tropis yang akan meningkatkan cadangan devisa kita.

Kita melihat di era globalisasi ini, negara-negara yang secara ekonomi stabil adalah negara-negara yang cadangan devisanya besar. Indonesia juga termasuk sedikit negara yang berpotensi menambah pasokan pangan bagi dunia yang penduduknya terus bertambah 1 miliar jiwa setiap 13 tahun.

Adalah memalukan jika Indonesia yang terletak di kawasan tropis, berlahan subur, dengan curah hujan yang cukup, dan sinar matahari sepanjang tahun justru menjadi beban dunia untuk penyediaan pangannya.

Agar lebih efisien, perluasan lahan-lahan pertanian pangan baru sebaiknya dibangun di tepi sungai-sungai besar di Indonesia, antara lain Kapuas, Mahakam, Digul, Maro, Bian, Kampar, dan Musi, untuk memanfaatkannya sebagai jalur transportasi. Keberhasilan pembangunan pertanian Brasil yang telah menjadikannya penghasil besar jagung, gula tebu, ubi kayu, cokelat, dan lain-lain juga memanfaatkan sarana transportasi Sungai Amazon.

Modernisasi pertanian
Keseluruhan potensi pertanian yang dimiliki Indonesia luasnya 101 juta hektar. Areal pertanian yang telah ada menurut BPS luasnya 47 juta hektar. Lahan cadangan pertanian tersedia 54 juta hektar yang dapat dimanfaatkan menjadi lahan pertanian yang produktif, termasuk perkebunan, atau hutan penghasil kayu yang juga bermanfaat secara ekologis, atau dapat rusak menjadi padang alang-alang atau belukar.

Potensi perluasan sawah mencapai 19 juta hektar. Dari 19 juta hektar ini, yang telah digunakan untuk komoditas lain 9 juta hektar sehingga yang masih tersedia 10 juta hektar (terluas di Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Riau). Sementara potensi perluasan areal pertanian di lahan kering 5,1 juta hektar.

Lahan pertanian pangan (plus hortikultura) yang ada sekitar 8,5 juta hektar. Dengan pertambahan penduduk 1,3 persen per tahun, diperlukan penambahan luas lahan pertanian yang lebih tinggi agar kita dapat swasembada dan menjadi eksportir. Kalau tumbuh 2 persen per tahun, berarti 170.000 hektar.

Untuk amannya, Indonesia memerlukan perluasan lahan pertanian 200.000 hektar per tahun. Untuk dapat segera menjadi negara eksportir pangan tropis, diperlukan perluasan lahan tanaman pangan 300.000 hektar per tahun. Itu pun harus dibarengi dengan mengerem konversi lahan pertanian ke penggunaan lain yang untuk Pulau Jawa sebagai penghasil pangan utama saat ini angkanya berkisar 50.000 hektar per tahun.

Program tersebut perlu diiringi dengan modernisasi (mekanisasi dan penggunaan teknologi maju pada benih, pupuk, dan penanggulangan hama) guna meningkatkan daya saing, serta dengan pemilikan lahan per petani yang semakin luas, untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Sebagai perbandingan, pertanian Brasil maju pesat setelah Brasil memberi lahan sekitar 25 hektar per petani, dengan olah tanah menggunakan wheel tractor 50 HP.

Dengan peningkatan skala usaha petani Indonesia menjadi 4 hektar per kepala keluarga disertai dengan modernisasi pertanian, produksi dan produktivitas serta daya saing produk-produk pertanian kita akan meningkat. Semoga.

Siswono Yudo Husodo, Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140328kompas/#/6/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar