Berita tentang kelangkaan pupuk di sentra produksi pangan beberapa waktu terakhir nyaris tak terdengar. Berita ini tenggelam oleh gencarnya pemberitaan drama politik yang disuguhkan para elite partai politik Tanah Air.
Berita tentang penggalangan koalisi sesama partai politik untuk mengusung calon presiden/ wakil presiden (capres/cawapres), nyaris tak menyisakan ruang bagi berita-berita penting lainnya. Kondisi kelangkaan pupuk ini mengindikasikan bahwa upaya perlindungan kepada petani dari tahun ke tahun tidak terlihat kemajuannya.
Padahal Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah menegaskan bahwa petani harus mendapatkan perlindungan dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, ketersediaan lahan, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.
Secara kasatmata, kue pembangunan berupa anggaran subsidi sarana produksi untuk meringankan beban petani selalu ”dirampok” oleh oknumoknum tak bertanggung jawab. Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat mencatat tidak kurang dari 400 kasus penyelewengan pupuk bersubsidi. Pada Juni 2012, petugas Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menggagalkan penyelundupan 20 kontainer pupuk bersubsidi ke Malaysia.
Pada September tahun yang sama, kembali digagalkan upaya penyelundupan empat kontainer pupuk urea bersubsidi ukuran 20 kaki ke Malaysia di Pelabuhan Tanjung Priok. Penulis yakin, tidak lama lagi, saat para capres/cawapres melakukan ritual ”menebar angin surga” pada kampanye pemilihan umum presiden (pilpres), isu-isu tentang pertanian dan petani akan menjadi jualan politik utama para capres/cawapres.
Hal itu disebabkan petani merupakan entitas sosial terbesar di negeri ini sehingga entitas sosial ini menjadi sangat seksi untuk diperebutkan seluruh pasangan kandidat. Entitas petani akan menjadi lumbung suara yang sangat menentukan kemenangan capres/cawapres. Menurut Sensus Pertanian Tahun 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTP) mencapai 26,14 juta RTP.
Jika diasumsikan setiap RTP terdiri dari empat jiwa, dalam entitas sosial ini terdapat minimal 104,6 juta jiwa yang kehidupannya secara struktural bergantung pada sektor pertanian. Jika kedaulatan ada di tangan rakyat, demokrasi menjadi pilar ideologi yang dijunjung tinggi, maka sebagai entitas sosial terbesar, secara teori para petani akan menjadi pemegang kedaulatan di Republik ini. Mereka akan menempati posisi terhormat secara sosial, ekonomi, maupun politik.
Menurut hitung-hitungan matematika sederhana, jika rata- rata setiap RTP punya tiga hak suara dalam pemilu presiden/ wakil presiden (Pilpres) 9 Juli nanti, maka dari entitas sosial ini akan dapat didulang sedikitnya 78 juta suara. Jumlah yang sangat signifikan untuk dapat mengantarkan seorang capres/cawapres menuju kursi RI-1 dan RI-2.
Inferior
Namun, realitas kehidupan tidak selamanya berjalan linier sesuai pakem dan teori-teori sosial politik. Meminjam tesis ekonom India, Arun Jaetly, sektor pertanian di Indonesia adalah sektor yang penting secara ekonomi, sensitif secara politik, namun sangat inferior secara sosial. Dalam konteks perekonomian nasional, sektor pertanian sangat penting karena merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) utama dan penyedia lapangan kerja terbesar.
Sebaliknya, ditinjau dari sisi sosial sektor pertanian memiliki posisi yang sangat inferior. Sektor ekonomi yang satu ini dari tahun ke tahun selalu identik dengan kantong kemiskinan. Sekitar 68,55% penduduk miskin di Indonesia tinggal di wilayah pedesaan, sebagian besar berprofesi sebagai petani (BPS, 2007). Jumlah rumah tangga petani gurem (petani yang menggarap kurang dari 0,5 hektare) pada tahun 2013 mencapai jumlah 14,25 juta rumah tangga atau sebesar 55,33% dari rumah tangga pertanian pengguna lahan.
Tingkat kesejahteraan petani dari tahun ke tahun mengalami stagnasi, bahkan cenderung mengalami penurunan. Angka nilai tukar petani (NTP) yang menjadi salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan petani tidak menunjukkan angka yang menggembirakan.
Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang tertuang dalam laporan bertajuk ”Kebijakan Ekonomi 5 tahun Mendatang: Merebut Momentum, Membalik Keadaan”, yang dipublikasikan belum lama ini menyimpulkan bahwa terjadi penurunan NTP dari 117 pada 2004 menjadi 107 pada 2013. Hal itu antara lain disebabkan sepanjang sejarah pembangunan sektor pertanian cenderung bias perkotaan (urban bias), membela kepentingan konsumen perkotaan dan industri.
Secara kasatmata, petani selalu dihadapkan pada dua kekuatan eksploitasi ekonomi. Pada pasar faktor produksi, seperti pupuk, benih, obat-obatan, dan sarana produksi lainnya, mereka selalu dihadapkan pada kekuatan pasar monopolistis. Giliran menjual hasil panen, mereka berhadapan dengan kukuhnya tembok pasar monopsonistis.
Untuk itulah, petani memimpikan hadirnya seorang capres/ cawapres yang memiliki rasa kepedulian yang tinggi, memiliki rasa empati, serta rasa keberpihakan kepada petani. Kepedulian, empati, dan keberpihakan tersebut merupakan sebuah keniscayaan untuk membantu para petani dalam menghadapi kegagalan pasar (market failure) akibat tak terpenuhinya asumsi-asumsi dasar pembangunan.
Sosok capres/cawapres impian petani adalah sosok yang secara gigih dan tulus memperjuangkan hak-hak normatif petani. Sosok yang mau hadir di tengah- tengah petani dan berusaha menjadi bagian dari solusi semua persoalan yang dihadapi. Dari kelangkaan pupuk seperti yang terjadi saat ini, mahalnya harga benih impor, terpuruknya harga jual komoditas pangan saat panen raya, rusaknya sarana infrastruktur pertanian, hingga terbatasnya akses permodalan dan pemasaran.
Pendek kata, sosok capres/ cawapres impian petani adalah sosok yang mau menjadi teman abadi bagi petani. Bukan sosok yang menjadikan petani hanya teman sementara demi tercapainya tujuan politik jangka pendek semata. ●TOTO SUBANDRIYO Praktisi Sektor Pertanian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar