Senin, 2 Juni 2014
JAKARTA. Ekonom Pertanian dari Institut Pertanian Bogor meminta pemerintah untuk izinkan perdagangan benih rekayasa genetika (GMO) dengan alasan untuk menggenjot produktivitas areal tanaman pangan Indonesia. Permintaan tersebut didasarkan atas kelebihan benih GMO dan juga areal tanam yang turun terus sebagai akibat persaingan lahan untuk food, feed dan fuel. Lebih dari itu kedelai yang diimpor dari Amerika sesungguhnya hasil dari rekayasa genetika. Sementara sampai saat ini Pemerintah masih bertahan untuk memberi perizinan.
Adalah benar adanya bahwa telah terjadi kompetisi lahan untuk food, feed, fuel dan bahkan environment terkait dengan perubahan iklim yang bisa mengharuskan lahan pangan diubah untuk hutan penyerap karbon atau sebaliknya malah terjadi perluasan hutan penyerap karbon. Lebih dari itu, lahan pangan terkonversi menjadi lahan non pertanian untuk industri dan perumahan. Sampai saat ini konversi lahan seluas 100 ribu hektar per tahun.
Olehkarena itu, menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, SPI memandang persoalan konversi lahan pangan sudah seharusnya diutamakan melalui pembaruan agraria melalui distribusi lahan ketimbang pada pemanfaatan benih GMO sebagai solusinya.
“Terlebih Pemerintah SBY sudah menjanjikan dan sekaligus ingkar janji untuk membagi 9 juta hektar tanah kepada petani dan orang miskin. Sementara UU Pokok Agraria no.5 1960, UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan no.41/2009 dan PP no.11 tahun 2010 tentang Penertipan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar sudah lebih dari cukup sebagai landasan hukum untuk mendistribusikan lahan tersebut,” papar Henry di Jakarta siang ini (02/06).
Henry mengungkapkan, SPI memandang pemanfaataan dan perdagangan benih GMO tetap akan merugikan petani ditinjau dari aspek ketergantungan atas benih GMO. Petani akan mempunyai ketergantungan benih apapun yang tidak produksi sendiri oleh petani – apalagi benih GMO tersebut. Kelangkaan dan distribusi benih yang terhambat di pasar benih di saat musim tanam akan menyebabkan harga benih meningkat sehingga meningkatkan biaya produksi petani.
“Sampai saat ini benih produksi BUMN tidak mencukupi kebutuhan benih, sehingga pemerintah pun pada akhirnya tergantung benih korporasi dan lebih dari itu Masalah benih subsidi lainnya adalah kualitas benih yang membuat petani menolak benih tersebut. Dengan kata lain, pemanfaatan GMO tentu akan menguntungkan korporasi-korporasi benih. Sementara disamping masalah benih, Petani masih menghadapi masalah klasik berupa pupuk subsidi yang sulit didapatkan dan mahalnya harga pupuk ( lihat siaran pers: pupuk langka, petani merana),” paparnya.
Selanjutnya Henry menyampaikan, dari aspek keragaman benih lokal, pemanfaatan benih GMO akan menambah hilangnya benih lokal dan berikutnya petani-petani penangkar benih. Kelompok petani penangkar selanjutnya akan diganti dengan buruh ekslusif ‘penangkar’ GMO di laboratoriun-laboratorium benih industri korporasi. Dengan demikian hilang satu mata rantai produksi benih dari tangan petani.
“Keputusan MK yang mengabulkan judicial review para petani atas UU Sistem Budidaya Pertanian no.12 1992, terkhusus dalam hal perbenihan (lihat siaran pers SPI Tegakkan Kedaulatan di Perbenihan, red), seharusnya menjadi momentum bagi IPB, Litbang-litbang pertanian dan para petani sendiri untuk melakukan peningkatan kemampuan penangkaran benih, pelatihan secara masif sekolah lapang benih untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim, pemuliaan benih-benih lokal dan lebih jauh mengembangkan sistem dan tata distribusi perbenihan ala petani melalui pendirian dan pengembangan bank-bank benih petani di desa-desa,” tegas Henry.
Henry menambahkan, pendirian bank benih di desa-desa ini selaras dengan apa yang dicanangkanoleh pasangan Capres-Cawapres Jokowi-JK dalam visi-misinya, yakni pencanangan 1.000 desa berdaulat benih hingga tahun 2019. Tercakup dalam Desa berdaulat benih adalah program pertukaran benih lokal petani antar desa, antar kecamatan, antar kabupaten dan propinsi sehingga semua kebutuhan petani akan benih dapat dipenuhi dalam lingkup kawasan yang lebih luas, namun tidak menyebabkan adanya transportasi jarak jauh yang boros bahan bakar dan produksi polusi udara sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim dalam jangka panjang.
“Program pertukaran dan lebih jauh distribusi benih lokal petani tersebut tidak perlu dibarengi dengan rasa was-was dan takut akan kriminalisasi dari perusahaan-perusahaan benih, karena hasil keputusan MK – sebagaimana yang disebut diatas – bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-X/2012 atas Uji Materiil Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman telah memberikan kesempatan kepada para petani untuk menciptakan dan mengedarkan benih idaman bagi pertanian keluarga skala kecil. Demikian pula Desa Berdaulat Benih juga akan meminimalkan impor benih dan emisi karbon yang dihasilkan dari pengangkutan jarak jauh,” tambah Henry yang juga Ketua Presidium SEKNAS TANI Jokowi
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
http://www.spi.or.id/?p=6998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar