Senin, 02 Juni 2014

Reforma Agraria: Wujud Nyata Trisakti Kemerdekaan

Senin, 2 Juni 2014

Jokowi-JK di dalam dokumen resmi visi-misinya secara eksplisit menawarkan 31 agenda startegis dalam mewujudkan Trisakti Kemerdekaan yang diperas menjadi 9 agenda prioritas. Dalam salah satu agenda prioritas tersebut, Jokowi-JK “akan meningkatkan kualitas hidup manusia melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 Juta Ha.”

Berikutnya, dalam agenda berdaulat dalam politik, Jokowi-JK berkomitemn untuk mewujudkan sistem dan penegakkan hukum yang berkeadilan, dalam hal itu akan memberi penekanan pada, salah satunya dengan “mendorong landreform untuk memperjelas kepemilikan dan kemanfaatan tanah dan sumber daya alam melalui penyempurnaan terhadap UU Pokok Agraria.

Dalam konsepsi berdikari dalam bidang ekonomi, Jokowi-JK “akan membangun kedaulatan pangan berbasis pada agribisnis kerakyatan melalui; “komitmen kami untuk implementasi reforma agrarian melalui (a) akses dan aset reform pendistribusian asset terhadap petani distribusi hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani; menyerahkan lahan sebesar 9 juta Ha, (b) meningkatnya akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0.3 hektar menjadi 2.0 hektar per KK tani dan pembukaan 1 juta ha lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali.”Agenda reforma agraria Jokowi-JK tersebut patut diapresiasi oleh gerakan pengusung reforma agraria sejati sesuai UUPA 1960.

Memahami Sejarah dan Makna Reforma Agraria

Para pendiri bangsa menyadari betul bahwa pelaksanaan cita-cita kemerdekaan adalah penuntasan agenda land reform dengan segala upaya menhapuskan corak feodalisme, kapitalisme dan imperialisme yang bercokol kuat di tanah air di era penajajahan. Menanggapi suasana itu, maka agenda perombakan struktur kepemilikian, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam (agraria) menjadi syarat mutlak berdirinya negara Indonesia yang adil dan makmur.Perwujudan cita-cita proklamasi 1945 itulah yang sampai saat ini belum tercapai secara tuntas dan menguatkan argumentasi kita bahwa “Revolusi Belumlah Selesai”.

Kenyataan kolonial merupakan pengalaman empiris yang berperan besar dalam membentuk sikap para pendiri Indonesia. Keinsyafan akan problem agraria di era kolonialisme tersebar di kalangan pemimpin revolusioner yang berjuang demi tercapainya kemerdekaan politik Indonesia. Dalam Pidatonya yang berjudul “Djalannya Revolusi Kita-17 Agustus 1960”, Bung Karno secara terang benderang mengungkapkan urgensi pelaksanaan land reform yang erat kaitannya dengan cita-cita proklamasi 1945. Ia menyebutkan “Sebuah rencana mengesahkan UUPA adalah kemajuan maha penting dalam revolusi Indonesia! Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan omong besar tanpa isi. Melaksanakan Landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak bagi revolusi Indonesia. Gembar-gembor tentang revolusi, sosialisme Indonesia, masyarakat Adil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan land reform adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di Pasar Tanah Abang atau di Pasar Senen”. Oleh sebab itu para pendiri bangsa memahami betul kebutuhan mengatur struktur penguasaan, kepemilikan serta pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam (tanah, hutan, tambang, air, ruang angkasa) dan kaitannya dengan relasinya dengan manusia Indonesia (reforma agraria).

Dalam proses yang panjang, dengan pergulatan pemikiran dan kesungguhan dalam menghasilkan sebuah produk perundang-undangan, maka pada Tahun 1960 lahirlah Undang-undang No 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dan Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA 1960).

Masalah Mendasar

Kini di era reformasi yang menghalalkan liberalisasi penuh, kita belum berhasil mengubah masyarakat. Bahkan selama dan pasca orde baru ciri penindasan itu semakin nyata, melebihi di zaman penjajahan. Rakyat dipisahkan relasinya dengan alat produksi yang utama yaitu, tanah. Dalam kenyataan Indonesia sebagai negara agraris, contoh soal pemisahan manusia dari alat produksinya secara serampangan dapat dilihat dari petani yang kehilangan tanahnya akibat sistem yang memaksanya terpisah dari alat produksi pertaniannya.

Pemisahan petani dari tanahnya dapat berkembang menjadi ketidakadilan secara sosial dan ekonomi. Tanah terampas, kemudian terkumpul di tangan segelintir orang dengan berbagai cara. Cara yang paling ampuh adalah melalui pembenaran pertumbuhan ekonomi yang bersandar pada ekspansi investasi pada sumber-sumber agraria, khususnya tanah.

Klaim pertumbuhan ekonomi oleh Rezim 2004-2014 yang tinggi, nyata-nyata membuat ketimpangan makin lebar. Angka indeks gini hingga 0,413 memunculkan potensi kerawanan sosial di Indonesia. Pembangunan nasional yang berparadigma pertumbuhan ekonomi tidak selalu berkolerasi pada pemerataan, jika fondasi pertumbuhan disandarkan pada hutang serta investasi asing yang penuh spekulasi dan kerapuhan.

Masalah angka pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan serta pengangguran yang dihitung berdasarkan basis ekspor-import dan kenaikan investasi, hanya didominasi oleh sekitar 10% penduduk. Jika kita telaah dari angka kemiskinan rumah tangga di pedesaan, sampai sekarang, besar orang miskin bertempat menetap di pedesaan dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat  6.1 juta RTP di pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten.

Reforma Agraria dan Trisakti Kemerdekaan

Pembangunan nasional harus disandarkan pada potensi nasional berupa melimpahnya sumber kekayaan alam dan tenaga produktif manusia Indonesia. Potensi itulah yang kongkret menggerakan roda perekonomian bangsa Indonesia. Hubungan manusia dengan alat produksi (kekayaan alam/agraria) harus diatur negara sesuai konstitusi Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960.

Demokrasi ekonomi harus sejalan dengan demokrasi politik. Tanpa pendistribusian alat produksi bagi rakyat yang bersandar pada corak produksi agraris, maka Indonesia kembali memposisikan diri kedalam kerapuhan ekonomi. Sebagaimana prinsip Trisakti Kemerdekaan Sukarno, Trisakti adalah satu langgam gerak bersama, jika salah satu ditiadakan maka tujuan kemerdekaan tidak akan tercapai. Agar tidak menjadi setumpuk gagasan belaka, Trisakti mestilah menjadi tindakan konkret mengatasi problem kemerdekaan kita.

Reforma agraria yang pernah dilaksanakan Sukarno pada tahun 1960 melalui kelahiran UUPA 1960 adalah salah satu program kebijakan utama sukarno yang konkret mewujudkan Trisakti kemerdekaan.Trisakti Kemerdekaan adalah bagaimana jalan kemerdekaan mesti ditempuh dengan sepaket prinsip yang tak terpisah-pisah, baik soal ekonomi, politik dan mental kebudayaan. Revolusi ekonomi, politik dan budaya melalui satu paket program reforma agraria dapat menghantarkan Indonesia kembali pada posisi arah tujuannya, yaitu menuju tatanan masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita Proklamasi 1945.

Inti dari reforma agraria adalah landreform yaitu redistribusi kepemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya. Jadi reforma agraria adalah landreformplus.Reforma agraria memiliki tujuan yang sejalan dengan perubahan mental bangsa dengan merubah susunan masyarakat dari struktur masyarakat warisan feodalisme dan kolonialisme menjadi susunan masyarakat yang lebih merata, demokratis, adil dan sejahtera. Tanpa reforma agraria sebagai fondasi maka kita akan terus mengulangi dan melestarikan kesalahan masa lalu, yaitu dengan membangun Indonesia di atas kerapuhan dengan memaksakan diri membangun kemewahan diatas kemiskinan, kerapuhan dan ketimpangan.

Bagaimana Melaksanakan Reforma Agraria

Untuk menyelamatkan Indonesia, satu-satunya jalan—saya ulangi—satu-satunya jalan dan tidak ada jalan lain, adalah melaksanakan Reforma Agraria. Bagaimana melaksanakan Reforma Agraria di Indonesia? Alhamdulillah, founding fathers kita telah menyiapkan landasan hukum untuk Reforma Agraria yang sampai saat ini belum dicabut dan dapat digunakan yaitu UU No.5/1960, Perpu No. 56/1960 dan UU No. 2/1960.

Pelaksanaan reforma agraria dapat ditempuh melalui pembentukan Badan Pelaksana/Komite Nasional Pembaruan Agraria yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk menyelesaikan konflik agraria. Kedua, melalui Reformasi Kelembagaan dengan membentuk Kementerian Agraria yang bertanggung jawab dan berwenang atas pengurusan sumber-sumber agraria, seperti pertanahan, pertanian, kehutanan, kelautan dan pertambangan. Ketiga, membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria yang akan menjalankan program tanah untuk petani tak bertanah, petani gurem dan masyarakat miskin lainnya dan program pendukung reforma agraria seperti Membangun infrastruktur pendukung reforma agraria; Melaksanakan penyuluhan pertanian, penyediaan alat-alat pertanian; Membangun industri bibit, pupuk, pestisida; Pengadaan bank dan koperasi; Merevitalisasi bulog untuk menjaga harga pasar; Penyediaan pasar dalam negeri; Pengetatan impor dan ekspor pangan dan Pembatasan investasi asing pada pertanian dan perkebunan.

Apa yang akan terjadi jika pemimpin ke depan lalai melaksanakan reforma agraria sesuai amanat UUPA 1960? Petani, buruh, nelayan, masyarakat adat akan terus terjebak dalam kemiskinan; Indonesia akan terus menerus kehilangan tanah produktif; Tanah tidak produktif karena dijadikan objek spekulasi dan komoditas dagang; Jumlah petani terus berkurang; Kelangkaan Pangan; Impor Pangan terus melonjak; Kerusakan Lingkungan; Ketimpangan Pendapatan antara desa dan kota semakin lebar; Konflik agraria merebak dimana-mana dan melahirkan kerawanan sosial dan mengganggu ketahanan nasional; Logistik perang dalam hal pangan menjadi terbatas; Terganggunya teritorial karena penguasaan sumber daya alam oleh bangsa lain melalui korporasi asing; Urbanisasi meningkat dan ekspor TKI terus menerus karena tersingkirnya warga desa dari sumber hidupnya; Kriminalisasi meningkat karena kemiskinan dan ketimpangan ekonomi; Gagalnya industrialisasi nasional yang berarti Indonesia tidak mampu memproduksi barang-barang untuk kebutuhannya sendiri; Petani, Nelayan dan Buruh tidak dapat menabung karena tidak mempunyai surplus penghasilan sehingga tidak dapat membeli saham perusahaan negara yang dinasionalisasi dan eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa akan terancam. Rakyat harus diberi kepercayaan dalam menggerakan ekonomi nasional.


Galih Andreanto
pejuang pemikir - pemikir pejuang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar