Senin, 10 Agustus 2015

Bila Hidup dan Mati Tergantung Musim

Minggu.9 Agustus 2015


Beberapa hari terakhir ini kita membaca berita mengenai lahan pertanian di berbagai tempat yang mengalami kekeringan dan petani terancam gagal panen. Di daerah tertentu ada warga yang merusak bendungan agar mendapatkan air.

Chambers (1995) menulis Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts?, mengingatkan kita betapa kemiskinan sulit dipahami oleh yang tidak sungguh mengalami. Para profesional yang menekuni isu kemiskinan, dan pada umumnya kita, berpikir tentang kemiskinan dari perspektif masyarakat kelas menengah yang sesungguhnya tidak pernah mengalami, tetapi punya otoritas untuk membuat definisi.

Definisi

Yang terjadi saat ini, saking langkanya air, di beberapa tempat warga menaruh jeriken kosong di sore hari agar dapat menampung tetes-tetes air dari lubang batang pisang dan mengambil air yang mungkin tak terisi penuh di jeriken esok harinya. Airnya digunakan untuk minum dan memasak. Di satu lokal pemerintah meminjamkan pompa bagi warga agar dapat menyedot air, di tempat lain warga dilarang menggunakan pompa demi memastikan pemerataan pemanfaatan air. Sementara apabila gagal panen, petani betul-betul kehilangan semuanya: modal pertanian yang mungkin didapat dari berutang, waktu dan kerja keras yang terbuang sia-sia, kesempatan mencukupi kebutuhan makan keluarga, sekolah anak, dan masa depan.

Saya jadi ingat satu pertemuan, mungkin dua tahun lalu, ketika seorang pendamping lapangan menjelaskan kemiskinan buruh perkebunan di luar Jawa, yang setiap hari terpaksa harus mengajak istrinya untuk membantunya penuh waktu menyiangi kebun, demi mendapatkan upah utuh yang jika dijumlahkan tidak sampai Rp 1.500.000 per bulan. Apabila tidak memenuhi target, upahnya dipotong, dan ia tidak mampu mempekerjakan orang lain. Meminta bantuan orang lain berarti harus membayarnya lebih dari separuh upah hariannya, hanya istrinyalah yang mau tidak mau harus membantu.

Dalam pertemuan itu, seorang mahasiswa memotong, meminta pendamping lapangan agar tidak terlalu berlebihan melihat hal tersebut sebagai persoalan sosial yang harus dibereskan karena dengan upah Rp 1.500.000 (saat itu) sang buruh sudah tidak masuk dalam golongan kelompok miskin. Terjadilah perdebatan, sang pendamping kemudian menjelaskan bahwa uang Rp 1.500.000 sesungguhnya dihasilkan dari kerja penuh waktu dua orang, bukan satu orang, dan upah itu harus dipotong dulu untuk transpor mereka menuju perkebunan. Mereka memiliki tiga anak usia sekolah yang harus dihidupi dan harus didampingi. Pertanyaan yang menohok bagi si mahasiswa: ”Apakah setelah mengetahui ini Anda masih tidak menganggap mereka dalam kemiskinan? Bagaimana jika Anda sendiri ada di posisi mereka, masih samakah definisi kemiskinan yang Anda pegang?”

Dinamika kemiskinan

Mengapa orang menjadi miskin? Krishna (2010) melakukan penelitian meluas di beberapa negara dengan memfokus pada pengalaman dan perspektif kelompok miskin itu sendiri. Ia menemukan bahwa penyebab utama orang menjadi miskin atau lebih miskin adalah (dari urutan tertinggi) apabila mengalami sakit/kondisi kesehatan buruk dan harus mengeluarkan biaya-biaya perawatan kesehatan, hal-hal terkait upacara perkawinan, penyiapan mas kawin, biaya memulai rumah tangga, biaya upacara-upacara kematian, terjerat utang berbunga tinggi, kekeringan, kegagalan panen, penyakit tanaman, dan perusakan tanah (sudah tidak subur, tidak dapat lagi digunakan bertani).

Sementara itu, penyebab-penyebab utama orang dapat keluar dari kemiskinan adalah (dari yang tertinggi): diversifikasi pekerjaan dan penghasilan, akhirnya memperoleh pekerjaan (dari sebelumnya menganggur), dan ada asistensi dari pemerintah atau kelompok swadaya masyarakat. Menarik bahwa ternyata asistensi dari pemerintah dan kelompok masyarakat hanya mengisi 3 persen sampai dengan 8 persen dari semua jawaban, jika dibandingkan dengan upaya diversifikasi penghasilan yang dilakukan sendiri oleh individu/kelompok, yang dapat mengisi hingga 49 persen sampai dengan 69 persen jawaban.

Data di atas menjelaskan bahwa program-program penghapusan kemiskinan yang selama ini dilakukan dan mungkin telah menghabiskan dana besar ternyata belum berjalan efektif. Pemahaman mengenai dinamika kemiskinan sangat diperlukan untuk mengembangkan kebijakan dan program-program khusus untuk menghindarkan orang masuk dalam kemiskinan, dan membantu orang keluar dari kemiskinan.

Kemiskinan struktural

Reaksi pertama kita saat membaca berita tentang warga merusak bendungan mungkin: ”Itu kan perusakan sarana umum, berbahaya bagi masyarakat dan melanggar hukum?”

Chambers (1995) menjelaskan bahwa orang-orang kecil yang menggantungkan diri pada alam dan musim berada dalam situasi sangat rentan tanpa jaminan apa pun. Rentan terpapar pada shock, stres, risiko, dan kehilangan. Rentan secara internal psikologis juga karena ketidaksiapan atau ketidakmampuan untuk bertindak menghadapi peristiwa yang terjadi. Banjir, kekeringan, kegagalan panen dapat berarti makin terjerat utang, tidak bisa makan, sakit, makin miskin, tidak bisa bekerja lagi, jatuh dalam golongan ”termiskin”, dan kehilangan harga diri. Kondisi alam yang rusak, cuaca ekstrem, atau kekeringan parah dapat menghancurkan segala-galanya.

Perusakan lingkungan lebih banyak kelompok kelas menengah, pemilik modal, dan penguasa yang menjadi pelakunya. Hukum pertama ekologi menyatakan everything is connected nto everything else sehingga mungkin kita perlu mengubah reaksi kitadengan mengajukan pertanyaan:”Apa yang dapat dilakukan agar petani dan warga yang menggantungkan diri pada alam dan musim memilikialternatif-alternatif bertindak yanglebih baik, terhindarkan dari frustrasi dan dapat terjaga kelangsunganhidupnya?”

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150809kompas/#/11/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar