Selasa, 11 Agustus 2015

Sapinya Mogok Lagi

Selasa, 11 Agustus 2015

MOGOOOK lagi, mogoook lagi.... Penggalan nyanyian Titiek Sandhora ini betul-betul diadopsi Asosiasi Pengusaha Daging dan Sapi Potong Indonesia (Apdasi) Kota Bandung. Mereka melakukan pemogokan penjualan daging sapi pada 9-12 Agustus. Pemogokan ini pun diikuti para pedagang daging sapi di banyak kawasan.

Pasalnya, harga daging sapi melambung melebihi harganya waktu Hari Raya Idul Fitri, sementara permintaan konsumen merosot tajam. Akibatnya, volume penjualan berkurang sampai 60-70% karena harga jual yang tinggi. Itu pun harga sudah dipepet-pepetkan untuk sekadar memperoleh keuntungan ala kadarnya. Mengingat harga kulakan di pemotongan terus merangkak naik.

Simalakama memang. Pembatasan importasi sapi oleh pemerintah sampai 50.000 ekor untuk Kuartal III telah dicacimaki sebagai biang segala kenaikan itu. Kritik tersebut membandingkannya dengan importasi sekitar 200.000 pertriwulan selama Kuartal I dan II. Untuk ke sekian kalinya krisis sapi menggila, meski konsumen aktifnya sebenarnya hanyalah sekitar 16,5% saja.

Sungguh tidak jelas apakah kenaikan harga ini karena kelangkaan akibat turunnya importasi dan cadangan. Ataukah pelangkaan, rekayasa pemilik modal untuk memaksa pemerintah melebarkan kembali kran impor dengan segala rente dan gratifikasi yang menyertainya. Apa yang terjadi pada 2012 yang diwarnai kontaminasi bakso dengan daging babi dan tikus, kali ini berpotensi kembali berulang. Dan kembali akan kita simak, sejauhmana efektivitas upaya stabilisasi pemerintah dengan bersegeranya Bulog melakukan operasi pasar (OP).

Sejalan dengan mandat Nawacita dan UU 18/2012 tentang Pangan, pembatasan importasi sapi menjadi 50.000 ekor tentu merupakan keputusan yang sangat berdaulat dan nasionalistik. Meski demikian, sudah barang tentu diperlukan beberapa prasyarat kebijakan dimaksud. Antara lain: (1) kebenaran data, (2) potensi substitusi impor, (3) efektivitas operasi pasar, (4) kekuatan kendali Kabinet Kerja dalam tataniaga, dan (5) kapasitas market intelligent Kabinet Kerja. Yang terakhir ini sangat diperlukan Kabinet Kerja untuk bisa membaca fakta lapangan dengan benar: apakah krisis ini terjadi karena kelangkaan atau pelangkaan.

Bukan sebuah prasangka buruk tentang kemungkinan pelangkaan ini karena potensinya adalah sebuah keniscayaan. Secara teknis mudah sekali dengan mengatur jumlah penyembelihan. Ketika sapi dikandangkan dan tidak dibawa ke rumah potong hewan (RPH), maka detik itu pula pasok daging sapi pasti menyusut dengan akibat yang sama: kelangkaan pasar. Manakala kelangkaan model begini tidak terdeteksi, maka itulah kelemahan pemerintah untuk mudah didikte pemilik uang.

Karena itu, mudah sekali dibayangkan bahwa ketika kelima prasyarat yang dipaparkan ini tidak berada dalam genggaman Kabinet Kerja, maka keputusan nasionalistik dan berdaulat yang dicanangkan akan selalu menjadi simalakama. Satu prasyarat saja tidak dipenuhi, sudah bisa dipastikan bahwa kebijakan apapun adalah bom waktu untuk meledaknya krisis sapi gila.

Menggilanya harga daging sapi ini harus menjadi perhatian seksama dalam jajaran Kabinet Kerja umumnya, dan khususnya kementerian yang membidangi perekonomian, untuk bisa menjadi titik balik guna melakukan reorientasi. Juga melakukan benah kapasitas dalam menghadapi aneka krisis pangan ke depan. Karena persoalannya tidak pernah beranjak dari realitas kelangkaan dan pelangkaan yang tipis sekali batasnya.

Peringatan oleh sapi kali ini, telah menyusul krisis beras, daging ayam, dan gula beberapa waktu lalu. Dan sudah hampir pasti akan diikuti ke depan oleh krisis beras lagi, kedele, cabai merah dan lainnya secara musiman dan langganan. Nasionalisme pangan bukanlah basa-basi. Akan tetapi, tanpa pembenahan prasyarat yang disampaikan, kebijakan yang teramat berdaulat itupun bisa menjadi sumber laknat dan kiamat.

Benahi seksama terhadap prasyarat, kekuatan politik dan kebenaran data, pada akhirnya hanya tergantung kepada kehendak politik Kabinet Kerja. Political will, bukan yang lainnya.

(Prof Dr  M Maksum Mahfoedz. Guru Besar Fakultas Teknologi Pertaniana UGM, Ketua PBNU periode 2010-2015)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/4133/sapinya-mogok-lagi.kr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar