Selasa, 25 Agustus 2015

Pertanian ke Depan Memperkokoh Poros Petani, Peneliti dan Penyuluh

Senin, 24 Agustus 2015

Pembangunan pertanian ke depan harus dengan sistem yang baru. Sistem tersebut harus membuat penyuluhan berjalan efektif. Karena itu sistem yang dibangun mewadahi tiga unsur yakni petani, peneliti dan penyuluh (3P).

Mantan Menteri Pertanian, Sjarifudin Baharsjah menilai, pembangunan pertanian tidak bisa lepas dari memperkokoh kegiatan penyuluhan. Sayangnya selama ini tidak ada dukungan yang cukup baik dari pemerintah pusat dan daerah untuk kegiatan tersebut. Hal ini karena ketidaktahuan fungsi penyuluh bagi pembangunan pertanian.

“Lihat saja jumlah penyuluh yang makin sedikit. Penyuluh yang pensiun tidak tergantikan,” katanya saat sambung rasa penyuluh pertanian yang digelar Tabloid Sinar Tani di Bogor, beberapa waktu lalu. “Memang banyak yang bekerja di bidang penyuluhan, tapi bisa disebut sebagai penyuluh swasta,” tambahnya.

Karena itu menurut Sjarifudin Baharsjah, ke depan sistem yang digunakan untuk kegiatan penyuluhan tidak lagi dengan sistem yang ada sekarang, tapi harus dengan sistem yang baru. Sistem tersebut harus membuat kegiatan penyuluhan berjalan efektif untuk menggerakkan pembangunan pertanian agar lebih maju.

Sistem tersebut lanjutnya, juga harus mewadahi tiga unsur yang juga disebut poros petani, peneliti dan penyuluh atau 3P. “Sistem tersebut tidak bisa tidak harus meliputi tiga poros tersebut. Tiga poros tersebut harus ada kesetaraan,” katanya.

Untuk membangun tiga poros tersebut ungkap Baharsjah, harus ada rumah bersama. Rumah bersama tersebut adalah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Dalam rumah tersebut nantinya ada kerjasama penyuluh, petani dan peneliti.

Selama ini Sjarifudin menilai BPTP belum menjadi rumah bersama. Penyuluh yang berada di BPTP ibarat anak bawang. Justru yang terjadi peran penyuluhan ke petani diambil alih oleh peneliti. Padahal BPTP mempunyai kedudukan dan fungsi yang strategis, terutama sebagai centre of exellence daerah.

“Jadi BPTP harus terbuka agar petani tahu teknologi baru. BPTP juga menjadi agrofarm bagi petani,” ujarnya. “Obsesi saya adalah bagaimana penyuluh bersama peneliti dan petani, sebagai aset penting bergerak untuk pembangunan pertanian yang lebih baik,” tambah dia.

Kompetensi Penyuluh

Sebagai garda terdepan pembangunan pertanian, peran penyuluh memang sangat penting. Penyuluh ibarat jembatan hasil penelitian dengan petani. Karena itu kompetensi penyuluh tak bisa ditawar lagi.

Mantan Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Kementerian Pertanian, Winny Dian Wibawa mengatakan, yang menjadi pertanyaan ke depan adalah penyuluh kompeten atau tidak, ahli tidak dalam suatu bidang. “Ke depan kompetensi penyuluh yang bisa kita jual,” ujarnya.

Misalnya, Winny mencontohkan, jika di suatu daerah produktivitas tanaman rendah, maka berikan kesempatan kepada penyuluh untuk membuat demplot di lokasi tersebut. Cara ini untuk membuktikan peran penyuluh dalam mentransfer teknologi dan pengetahuan ke petani. “Kompetensi penyuluh menjadi taruhan. Jadi pembuatan demplot tidak lagi di lahan BPP, tapi langsung di lahan petani,” ujarnya.

Untuk meningkatkan kompetensi, menurut Winny, harus ada pelatihan bagi penyuluh pertanian. Dengan pelatihan nantinya penyuluh akan kompeten di bidang masing-masing. Jadi penyuluh akan menjadi spesialis dalam satu bidang. “Pelatihan yang simultan akan menjadi sarana peningkatan kompetensi,” kata Winny.

Sementara itu sebagai poros simpul koordinasi pembangunan pertanian, menurut Winny, pimpinan BPP/BP3K harus mendapat pelatihan manajemen agar bisa menggerakkan penyuluh dan orang lain. Apalagi kini pemerintah menggandeng TNI untuk mengawasi kegiatan pembangunan pertanian. “Jadi pimpinan BPP/BP3K juga harus bisa menggerakkan Danramil dan Babinsa,” ujarnya.

Sementara itu mantan Kepala Pusat Penyuluhan, BPPSDMP, Mulyono Machmur mengatakan, masuknya arus informasi teknologi ke pedesaan sehingga diperlukan adanya keahlian dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Namun kini sering diartikan sempit penyuluhan pertanian hanya proses transfer teknologi semata.

Padahal peran penyuluh pertanian diharapkan dapat memandirikan petani dan mampu membangun petani menjadi ahli di bidang pertanian. Jika petani ahli di bidangnya, dia akan menjadi pelaku utama dan pelaku usaha yang handal dalam pembangunan pertanian. “Sayangnya dalam beberapa tahun terakhir ini dirasakan adanya penurunan motivasi kerja penyuluh pertanian,” katanya.

Untuk mengetahui kondisi penyuluhan dilakukan kajian di empat provinsi (Banten, Jabar, Jateng dan Jatim), empat kabupaten yang memiliki kelembagaan penyuluhan dan empat kabupaten yang tidak memiliki kelembagaan penyuluhan (Serang, Tangerang, Bogor, Purwakarta, Sragen, Klaten, Gresik dan Lamongan).

Dari hasil kajian tersebut penyuluhan pertanian sebagai salah satu sub sistem dalam pembangunan pertanian mempunyai peran strategis dalam menyiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas sebagai pelaku utama dan pelaku usaha. Keberhasilan pembangunan pertanian akan terlihat dengan adanya perubahan dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern/maju.

“Pertanian modern seperti halnya di sektor industri sangat tergantung dari adanya informasi teknologi dan modal dari luar lingkungannya serta hasil/output yang keluar dari lingkungannya,” katanya.

Mulyono menjelaskan, tersedianya informasi teknologi dan modal dalam kemasan "delivery system" akan berdaya guna dan berhasil jika adanya peran penyuluh pertanian sebagai penyedia input intelektual bagi pelaku utama dan pelaku usaha. Dengan demikian, efektifitas penyelenggaraan penyuluhan pertanian jika didukung penyuluh pertanian yang berkualitas, kelembagaan yang kuat, sarana dan prasarana yang memadai.

“Fakta pada tataran operasional adanya spirit penyuluh pertanian apabila ada dalam wadah kelembagaan tersendiri dengan dukungan pendanaan yang memadai,” ujarnya.

Komitmen Pemda

Karena itu, menurut Mulyono, terbentuknya kelembagaan penyuluhan merupakan wujud suatu komitmen dari kepemimpinan wilayah yang menyadari pentingnya peran penyuluh pertanian dalam pembangunan wilayahnya. Sebaliknya daerah yang tidak memiliki kelembagaan penyuluhan patut diduga tidak merasakan pentingnya peran penyuluh pertanian atau potensi wilayahnya tidak mendukung.

Artinya, peran kepemimpinan formal/wilayah (Bupati, Walikota dan Gubernur) sangat dominan dalam mendorong berkembangnya sistem penyuluhan di wilayahnya. Bahkan dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur penarikan penyuluhan perikanan ke pusat dan penyuluhan kehutanan ke provinsi menimbulkan kegalauan penyuluh di lapangan, terutama bagi penyuluh pertanian.

“Kekhawatiran tersebut sangat beralasan karena UU No. 16 Tahun 2006 yang mengatur tentang sistem penyuluhan akan semakin sulit diimplementasikan di lapangan,” katanya.

Ke depan Mulyono menyarankan, untuk meningkatkan peran penyuluhan, maka peran kepemimpinan formal (Gubernur, Bupati/Walikota) sangat diperlukan dalam harmonisasi hubungan kerja antara kelembagaan penyuluhan (BP4K) dengan Dinas/Lembaga terkait di berbagai tingkatan. Pada tingkat lapangan peran Camat, Kades/Lurah perlu ditingkatkan perhatian dan komitmennya dalam penyelenggaraan penyuluhan dan BP3K/BPP dan Posluhdes. Yul

http://tabloidsinartani.com/read-detail/read/pertanian-ke-depan-memperkokoh-poros-petani-peneliti-dan-penyuluh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar