Kamis, 12 Desember 2013

GBHN dan Kegalauan Kita

Kamis, 12 Desember 2013


Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan panduan bagi pemegang kekuasaan di Tanah Air ini untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan secara resmi telah dihapuskan seiring dengan diterimanya amendemen atau perubahan UUD 1945 pada tahun 1999.

Arus besar pemikiran reformasi ketika itu memang menghendaki agar berbagai hal yang terkait dengan Orde Baru dan Soeharto, dihilangkan. Padahal GBHN bukanlah produk dan rekayasan Orde Baru, melainkan hasil pemikiran para pendiri bangsa.

Bukti bahwa GBHN merupakan hasil pemikiran para pendiri bangsa itu termuat di dalam UUD 1945 sebelum amendemen. GBHN tercantum di dalam Bab II Pasal 3 yang menyebutkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Setelah amendemen, GBHN diganti dengan apa yang disebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RPJM ini merupakan impelementasi dari visi dan misi presiden terpilih. Di sinilah letak perbedaaan antara GBHN dan RPJM. Jika GBHN yang membuat rakyat yang terwakili di MPR dan pemerintah atau negara, RPJM adalah presiden yang berkuasa. Dari sisi kepentingan dan strategi jangka panjang, tentunya hal ini lebih banyak mengadopsi kepentingan presiden, bukan negara secara berkelanjutan.

Sejak diberlakukannya RPJM, atau dihapuskannya GBHN, banyak kalangan merasakan kekurangan, bahkan ada yang menyebut pembangunan nasional Indonesia kehilangan arah. Ternyata RPJM tidak menjawab secara komprehensif persoalan nasional yang dihadapi Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan konteks persaingan dan kemauan negara-negara tetangga lainnya. Kita banyak mengalami kemunduran dalam hal arah dan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.

Atas dasar itulah, banyak kalangan mengusulkan, bahkan berbagai pembahasan serius melalui seinar, focus group discussion, dan sarasehan, menyimpulkan bahwa GBHN perlu dihidupkan kembali agar arah pembangunan Indonesia menjadi jelas.

Yang paling akhir, Kongres Kebangsaan di Jakarta selama dua hari 10–11 Desember lalu, yang digagas Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred) dan dihadiri sejumpah pemimpin partai politik yang ada di parlemen, juga sepakat mengusulkan agar GBHN perlu dihidupkan kembali guna memperjelas arah pembangunan Indonesia mendatang.
Untuk menghidupkan kembali GBHN, MPR seperti dikemukakan Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim, sudah mengusulkan, melalui revisi undang-undang, agar arah semacam GBHN itu dihidupkan kembali.

Jadi, ada semacam rumusan bersama tentang haluan kita bernegara, ke arah mana perjalanan bangsa ini ke depan. Rumusan ini dituangkan oleh DPR dan Presiden dalam bentuk undang-undang, tapi rancangannya itu disiapkan terlebih dahulu oleh MPR dengan melibatkan seluruh pihak stakeholder yang ada.

Kita sangat mengapresiasi berbagai pemikiran dan usulan yang menghendaki agar pola GBHN kembali dihidupkan dan dijalankan dalam kehidupan kenegaraan pasca pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014. Mengapa demikian? Karena kita berpandangan arah pembangunan yang jelas, terperinci, dan dicapai melalui tahapan yang terarah akan memudahkan bagi pemerintahan yang berkuasa menjalankan program-program pembangunan.

Di samping pertumbuhan ekonomi yang relatif masih bisa kita jaga, dalam banyak sektor dan bidang, bangsa kita tertinggal jauh dengan negara lain, khususnya negara tetangga. Dalam bidang pendidikan saja, kita masih berkutat dengan berbagai percobaan, baik sistem pendidikan itu sendiri maupun pola penilaian (UN). Belum lagi bidang-bidang strategis lainnya yang merupakan dasar bagi kemajuan suatu bangsa.

Jadi, di samping kita membutuhkan pemimpin negara mendatang yang memiliki visi jauh ke depan, tegas namun santun, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, tetapi juga pemimpin tersebut harus diberikan pegangan untuk memajukan negara, yaitu GBHN.

http://koran-jakarta.com/?967-gbhn-dan-kegalauan-kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar