Minggu, 08 Desember 2013

Paket Bali Disetujui, Presiden SBY Akan Wariskan Kemiskinan dan Kelaparan

8 Desember 2013

DENPASAR. Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-9 yang baru saja selesai akhirnya memutuskan Paket Bali yang isinya mewariskan kemiskininan dan kelaparan di Indonesia dan di negara-negara berkembang lainnya.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menegaskan, dengan disetujuinya Paket Bali ini, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekali lagi gagal membela kepentingan petani, dan rakyat kecil. Pemerintah yang kali ini melalui Menteri Perdagangan Gita Wiryawan, dengan sadar rela ditunggangi kepentingan perusahaan dan pelobi besar transnasional, dan mengorbankan kedaulatan pangan rakyat Indonesia, dan negara-negara berkembang lainnya. Dengan disetujuinya Paket Bali ini, upaya untuk menghapuskan kelaparan dan kemanusiaan semakin jauh dapat dilakukan. Bila pada saat berdirinya WTO pada 1995 angka kelaparan di dunia mencapai 825 juta jiwa, saat ini sudah mencapai 1 milyar jiwa, dan mayoritas berada di Asia.

“Hak atas pangan adalah hak asasi setiap manusia di atas muka bumi ini, namun Paket Bali menghalangi realisasi hak tersebut dengan mengangkangi kedaulatan rakyat melalui perjanjian WTO, dan Gita Wiryawan adalah salah satu aktor utama yang memuluskan strategi licik ini,” tegas Henry di Denpasar pagi tadi (08/12).

Mengenai “peace clause” yang diklaim pihak WTO adalah kemajuan dalam Paket Bali ini, Henry membantahnya. Menurutnya memang benar bahwa isi dalam “peace clause” membolehkan subsidi pertanian, tapi sebenarnya hal ini hanyalah kelicikan terselubung, karena intinya negosiasi ini ditukar (trade off) dengan fasilitas perdagangan, yang akan terus meliberalisasi luas di negara berkembang.

“Peace clause itu pembodohan publik. Contohnya begini, misalnya kita ingin mensubsidi satu komoditas pertanian kita, hal itu harus ditukar dengan pembukaan pasar kita seluas mungkin dengan menghilangkan tarif impor. Ini adalah omong kosong karena seharusnya negara tak perlu memohon kepada WTO untuk menjamin hak atas pangan rakyatnya. Pangan dan pertanian tidak bisa diatur dalam rezim perdagangan bebas,” tegasnya.

Fasilitas perdagangan WTO adalah usul negara maju untuk ekspansi pasar, demi menyelamatkan ekonomi mereka yang stagnan. WTO kembali memfasilitasi kepentingan tersebut, juga perusahaan besar transnasional yang siap menggelontorkan barang ke negara miskin dan berkembang. Perdagangan itu perlu, namun harus berkeadilan. Perdagangan multilateral harus didasarkan keseimbangan: negara miskin dan berkembang harus punya hak untuk membangun, serta memenuhi dan menghormati hak-hak asasi rakyatnya. Data dari World Trade Report 2013 menyatakan, 80% ekspor AS dikuasai oleh 1 perusahaan besar, 85% ekspor Eropa ada di tangan 10 eksportir besar dan 81% ekspor terkonsentrasi pada 5 perusahaan ekspor di negara berkembang.

“Indonesia tidak butuh WTO. Tanpa WTO kita tidak akan rugi apa pun, justru petani kecil kita akan lebih terjamin kesejahteraannya. Penolakan terhadap WTO ini diibaratkan pertempuran antara kemanusiaan melawan keserakahan dan ketamakan perusahaan transnasional yang ingin terus mengekspansi pasarnya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia, penerapan kedaulatan pangan di tiap negara adalah jawabannya. Keluarkan WTO dari pertanian, akhiri WTO,” tambah Henry.


Kontak selanjutnya:

Henry Saragih – Ketua Umum Serikat Petani Indonesia – 0811 655 668



http://www.spi.or.id/?p=6638

Tidak ada komentar:

Posting Komentar