Senin, 16 Desember 2013

Kebijakan Pangan Nasional Harus Independen

Senin, 16 Desember 2013


JAKARTA – Subsidi pertanian harus menjadi kepentingan nasional sehingga besarannya disesuaikan dengan kebutuhan, bukan dilahirkan dari negosiasi internasional. Karena itu, pangan harus diposisikan sebagai salah satu instrumen kekuatan nasional dan kebijakan pangan nasional haruslah independen, tidak boleh di bawah tekanan negara-negara maju.

Ketua Eksekutif Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, mengatakan hal itu di Jakarta, Minggu (15/12). Menurut dia, pengurangan subsidi pertanian dan keharusan membuka keran impor pertanian serta pangan selebar-lebarnya yang didorong negara-negara maju akan menghancurkan petani.
Selain itu, lanjutnya, hal tersebut juga akan memunculkan monopoli pangan dan benih oleh perusahaan transnasional yang bergerak di bidang pertanian dan pangan.

Di sisi lain, program pembaruan agraria tidak berjalan. Dengan begitu, perusahaan-perusahaan transnasional bakal leluasa melakukan penguasaan tanah dalam skala luas. Laporan dari Dewan HAM PBB tahun 2012 sendiri menunjukan bahwa krisis pangan dewasa ini telah menimbulkan diskriminasi terhadap petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan.

Padahal, amanat UUD 1945 adalah jelas bahwa APBN dan kekayaan alam harus dipertanggungjawabkan dan bisa untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Gunawan menambahkan hasil persidangan Dewan HAM PBB, mandat UUD 1945, dan tersendatnya negosiasi pertanian di perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), mestinya menjadi perhatian dari Pemerintah Indonesia. Semua itu, seharusnya sudah cukup menjadi alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk menyatakan WTO harus keluar dari pertanian.

"Alotnya perundingan Paket Bali mencerminkan beberapa hal. Pertama, persoalan pertanian dan pangan adalah persoalan kedaulatan nasional. Kedua, perdagangan bebas mengakibatkan ketidakadilan perdaganan antarnegara. Subsidi pertanian dan cadangan pangan nasional akan menjadi penghalang monopoli perdagangan," tuturnya.

Namun, yang dia sayangkan, pertemuan Konferensi Tingkat Menteri Ke-9 WTO di Bali, sedikit-banyak merugikan posisi Indonesia. Paket Bali yang diloloskan hanya melahirkan fasilitasi perdagangan yang ekspansif. Paket Bali juga tak memberi jaminan bagi petani karena minim perlindungan terhadap pertanian rakyat.

"Dalam paket Bali juga tak ada kewajiban melindungi negara miskin. Pendek kata, paket Bali menjadi ancaman lebih besar terhadap rakyat di negara di berkembang, khususnya Indonesia," ungkapnya.

Dikuasai Asing

Sementara itu, Said Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyatakan kekayaan alam yang melimpah yang dimiliki Indonesia yang menikmati bukan rakyat sebagai pemilik sah dari negeri ini, tapi yang menikmati adalah mereka-mereka, para pemodal, yang datang dari negeri seberang.

"Sayang, alam yang kaya, manusia negeri petani yang juara, kini berada dalam bayangan kehancuran. Kini hampir tak ada air dan udara mengalir merdeka, hampir tak ada sawah yang memberi makan dan makna pada bangsa," katanya. ags/E-3

http://koran-jakarta.com/?1252-kebijakan%20pangan%20nasional%20harus%20independen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar