Senin, 16 Desember 2013

Saatnya Lakukan Jihad Kedaulatan Pangan

Senin, 16 Desember 2013

Petani membawa bibit padi untuk ditanam di persawahan.

REPUBLIKA, YOGYAKARTA -- Indonesia selama ini dikenal sebagai Negara agraris yang subur sehingga apapun yang ditanam akan menghasilkan pangan. Namun saat ini sungguh ironis, Indonesia lebih banyak mengimpor bahan pangan ketimbang menghasilkan sendiri kebutuhan panganya.

Berdasarkan data-data statistik, bahwa produk bahan pangan dan pangan seperti beras, gandum, kedelai, ubi kayu, garam, ikan, buah-buahan, sayur-sayuran, dan daging sapi dari luar negeri membanjiri pasar Indonesia. Produk pertanian tersebut berasal Thailand, India, Amerika, Eropa, Australia. Mengapa hal ini bias terjadi?

Berikut wawancara wartawan Republika Heri Purwata dengan Prof Dr Ali Agus, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta di ruang kerjanya, beberapa waktu lalu.

Mengapa banyak produk pertanian impor membanjiri pasar Indonesia, padahal produk pangan tersebut bias dihasilkan sendiri?

Ada dua penyebab utama. Pertama, diakui atau tidak, peningkatan jumlah penduduk yang semakin tahun semakin tambah.  Setiap tahunnya, ada warga yang lahir  sekitar 3,6 -4 juta jiwa. Penduduk yang meningkat otomatis membutuhkan pangan. Kedua, dengan demokrasi reformasi memberikan dampak positif, di sisi lain, berupa desentralisasi penguasaan asset-aset ekonomi.

Selain itu, perkembangan ekonomi yang bagus menyebabkan pendapatan penduduk dari jumlah pendapatan rendah ke pendapatan yang lebih tinggi atau meningkatnya jumlah kelas menengah. Berdasarkan data peningkatannya sangat tajam, sehingga permintaan akan bahan pangan juga meningkat. Kalau dilihat dari sisi demand, jumlah permintaan semakin meningkat dan daya beli juga meningkat.

Karena permintaan meningkat dan daya beli meningkat, maka kebutuhan itu harus disuplai dari luar. Akibat produk dalam negeri tidak mencukupi. Gap antara demand dan suplai terhadap bahan pangan oleh penduduk Indonesia semakin menganga.

Bagaimana produk bahan pangan dalam negeri?

Produk pangan dalam negeri tidak bisa memenuhi permintaan dalam negeri.  Meskipun sudah ada peningkatan produksi, tetapi tidak dapat mengejar jumlah kebutuhan. Hal ini disebabkan, pertama, produktivitas relatif stagnan. Kedua, luas lahan tidak bertambah. Bahkan luas lahan pertanian ini semakin hari semakin menyusut karena digunakan untuk membangun rumah atau fungsi lain. Ketiga, kondisi lahan itu tidak semakin subur karena ketergantungan pada pupuk kimia. Keempat, kebijakan pemerintah yang belum memihak petani.

Apa kebijakan pemerintah tidak berpihak pada petani agar produktivitas terus meningkat?

Kebijakan-kebijakan pemerintah justru membuat produk pertanian kita semakin terpuruk. Di antaranya, pertama, ketika ada kekurangan kebutuhan pangan pemerintah langsung memutuskan impor. Sebab dengan impor biayanya lebih murah. Kedua, keberpihakan terhadap produsen bahan pangan (petani) lemah. Buktinya, tidak ada petani di Negara kita ini yang sejahtera.

Sebagai contoh, harga gabah kering giling (GKG) sudah ditetapkan harga maksimum oleh pemerintah. Padahal meskipun gabah dijual dengan harga maksimum belum bias menutup ongkos produksi seperti beli pupuk, bibit, ongkos tenaga kerja dan sebagainya. Walaupun pemerintah telah memberikan subsidi bibit dan pupuk.

Selama ini, pemerintah telah mengeluarkan subsidi bibit dan pupuk bagi petani. Apa kebijakan ini tidak menolong petani?

Subsidi bibit dan pupuk itu belum menjawab kebutuhan petani. Sebab subsidi itu belum bisa hadir tepat waktu ketika para petani butuh. Selama ini yang terjadi, pada waktu bibit dibutuhkan datangnya terlambat dan kualitasnya tidak match yang dibutuhkan petani.

Pupuk juga demikian. Ketika dibutuhkan pupuk kimia langka di pasaran dan datang terlambat. Meskipun pemerintah telah menganggarkan subsidi pupuk dan bibit tidak tepat waktu, tepat sasaran dan tepat jumlah yang dibutuhkan petani. Namun praktek di mana-mana selalu terlambat. Akibatnya, produksi pangan dalam negeri tidak maksimal.

Bagaimana kebijakan pemerintah setelah produk dalam negeri tidak mencukupi?

Kemudian pemerintah dengan mudah mengeluarkan regulasi impor yang mudah.

Apa dampak kebijakan pemerintah yang dengan mudah mengimpor bahan pangan tersebut?

Petani tidak mendapatkan insentif yang pas. Ini membuat pendapatan petani rendah dan diprediksikan selanjutnya petani akan meninggalkan usaha tani jenis komoditas tertentu. Misalnya, petani enggan menanam padi lagi dan memilih menanam melon atau tanaman lain yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Akibatnya produksi padi semakin turun. Saat ini sudah ada sinyalemen, jumlah petani kita berkurang sekitar lima juta orang dan mereka beralih ke profesi lain.

Kalau jumlah petani dan rumah tangga petani menurun artinya tidak ada lagi orang yang menjadi petani. Sehingga produk pertanian dalam negeri akan semakin tidak mencukupi permintaan rakyat Indonesia.

Apa ini bisa dikatakan ada salah kelola dalam meningkatkan produk pertanian?

Kalau salah kelola tidak. Tetapi lebih tepat bahasanya kita itu tidak segera melakukan langkah-langkah yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan pangan. Sebagai contoh, koordinasi regulasi antar kementerian susah sekali. Masalah lahan, misalnya. Dulu awal SBY menduduki jabatan presiden mengatakan ada lahan tidur sekian ratus hectare. Setelah dicek di lapangan ternyata sudah tidak ada, karena sudah dipakai dan dikapling orang lain.

Untuk koordinasi antar kementerian juga tidak mudah. Contohnya, masalah daging. Koordinasiannya kementerian pertanian, kementerian perdagangan, kementerian perindustrian, masing-masing membela kepentingannya sendiri-sendiri.

Lalu bagaimana meningkatkan peranan pemerintah agar produk pertanian dalam negeri bisa lebih unggul?

Sebetulnya dibutuhkan komitmen politik dan dibutuhkan sinergitas kebijakan.

Apa dampak impor pangan yang berlangsung cukup lama?

Sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa. Artinya kita sangat mengandalkan pangan kepada bangsa lain. Padahal pangan itu, merupakan nasib atau hidup matinya bangsa tergantung pada pangan. Di dunia ini tidak ada Negara yang menggantungkan pangan pada bangsa lain.

Di zaman Orde Baru, mempunyai konsep besar industrialisasi yang didukung oleh pertanian yang tangguh. Pertanian yang tangguh di sini adalah penghasil pangan. Sekarang ini, kita ini kropos sekali dalam urusan pangan. Itu baru berbicara jumlah ketersediaan pangan, belum berbicara kualitas.

Maksud pangan berkualitas yang seperti apa?

Bagi umat Islam, pangan itu tidak hanya cukup jumlah dan ketersediaannya saja. Tetapi pangan itu, harus halal dan thoyib. Kita belum pernah berbicara tentang pangan yang thoyib. Yang dimaksud dengan thoyib,  adalah pangan harus bebas pestisida, bebas residu kimia, bila dikonsumsi menyehatkan.

Bagaimana mensikapi kondisi pangan di negera kita ini?

Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia tidak boleh berpangku tangan. Kita harus bergerak dan berjuang secara sungguh-sungguh. Selama ini, orang Indonesia dikenal membuat konsep, membuat program, tetapi dalam implementasinya banyak menghadapi banyak persoalan.  Karena itu, konsep yang ada kita harus kerjakan, kerjakan dan kerjakan. Tampaknya, yang masih menjadi PR adalah mengerjakan program belum secara sungguh-sungguh.

Banyak contoh, bila mengerjakan program pembangunan nasional yang tidak sungguh-sungguh akan tertangkap KPK dan masuk penjara. Mereka itu tidak sungguh dalam menjalankan amanah yang diberikan kepadanya. Padahal ketika hendak menjabat disumpah dengan nama Allah SWT. Tetapi setelah menjabat ternyata tidak amanah.

Sehingga kita perlu melakukan suatu gerakan dalam melaksanakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh. Saya menyebutnya ‘berjihad.’ Dalam Alquran, surat Alam Nasyrah (94) ayat 7 disebutkan ‘Apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.’  Kemudian di surat lain dijelaskan ‘bila kamu bersungguh-sungguh, Allah akan membukakan banyak jalan.’

Karena itu, melihat kondisi Indonesia yang terpuruk ini kalau kita tidak bersungguh-sungguh tidak akan tercapai. Di sini akademisinya harus sungguh-sungguh dalam bekerja, petani juga sungguh-sungguh.  Jadi jihad yang dimaksud di sini adalah bekerja sungguh-sungguh, bukan memerangi orang kafir. Mengentaskan kemiskinan juga jihad, ibu melahirkan juga jihad. Makna jihad ada tiga yaitu bersungguh-sungguh,  berjuang di jalan Allah SWT, dan memerangi orang kafir.

Bagaimana bentuk kongkrit berjihad menegakkan kedaulatan pangan?

Ada lima gerakan (jihad)  yaitu pertama, komitmen politik dan sinergitas kebijakan. Kalau tidak ada komitmen politik dalam urusan pangan tidak akan tercapai kedaulatan pangan itu. Upaya pemerintah memberi subsidi pupuk dan bibit ini berhasil karena tidak tepat sasaran. Lebih baik justru disubsidi harga jual produksi pertanian. Sebab jika ada subsidi harga, petani akan berusaha untuk menghasilkan produk pertanian yang terbaik.

Kedua, optimalisasi pemanfaatan lahan dan air yang dimaksudkan untuk produksi pangan dan kesejahteraan rakyat. Di sini pemerintah tidak boleh membiarkan adanya lahan tidur. Tapi tugas ini tidak mudah karena lawan kita adalah konglomerat multi nasional dan para cukong yang tanahnya beribu-ribu hektare.

Ketiga, pemandirian proses produksi pangan. Untuk bias mandiri karena proses produksi melibatkan bibit, pupuk, teknologi, sarana dan prasarana, mesin dan sebagainya dari hulu hingga hilir harus mandiri.  Keempat, pembudayaan pola konsumsi pangan nusantara. Ini merupakan pendidikan kepada konsumen dalam negeri. Seandainya ada dua pilihan pangan, antara produk impor dan lokal. Jangan dipilih semata-mata yang murah atau yang bagus, tetapi kalau kita nasional maka kita belanja produk-produk nasional. Konsumen perlu diedukasi, termasuk pangan yang halal dan thoyib.

Kelima, penguatan jejaring dan kelembagaan pangan. Memperkuat jaringan kelompok tani, koperasi. Kelima gerakan inilah yang disebut dengan Panca Krida Kedaulatan Pangan Nusantara. Kalau kita bias melaksanakan semua ini kita bias terhindar dari ketergantungan Negara lain.

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/13/12/15/mxuuzv-saatnya-lakukan-jihad-kedaulatan-pangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar