Kamis, 19 September 2013

Kebijakan Pangan Gagal Total di Era SBY

16 September 2013

 Sejarah Pangan dalam Indonesia modern selalu diletakkan sebagai Panglima-nya ekonomi nasional.  Bahkan pembicaraan-pembicaraan politik perang di awal kemerdekaan tahun 1945-1949 selalu menempatkan pangan sebagai nomor satu, bahkan pada tahun 1947 ada pembicaraan khusus tentang beras, “Politik beras dalam peperangan, adalah politik paling sulit, karena Sultan Agung kalah dengan VOC karena politik logistik beras” begitu tulis M Yamin dalam salah satu risalahnya di koran Siasat.

Politik beras jadi pembicaraan penting juga setelah Indonesia menandatangani kesepakatan damai dengan Belanda lewat Konferensi Medja Bundar 1949 yang dibandari oleh Hatta. Pada tahun 1950, politik logistik beras untuk pangan rakyat jadi amat penting dan sempat jadi isu nasional. Beras adalah politik yang paling diperhatikan Bung Karno. Pada tahun 1952 Bung Karno didatangi Prof. Poerwo Sudarmo,  dalam pembicaraan dengan Prof. Poerwo Bung Karno bertanya pada Profesor ahli gizi itu. “Prof, aku ingin bayi-bayi bangsa ini kompetitif sejak lahir” kata Bung Karno dengan tatapan mata tajam. Prof Soedarmo lalu menguraikan berapa kalori yang dibutuhkan manusia untuk hidup sehat, manusia Indonesia harus mendapatkan persyaratan mendasar soal berapa kalori yang ia dapatkan dan bagaimana negara mampu menyediakan. Bung Karno menatap tajam ke arah Prof. Poerwo Soedarmo. Lalu Bung Karno berkata : “Prof, saat Hindia Belanda dulu, politik etis soal irigasi juga meletakkan soal kesadaran pangan, itu kita concern, ya kita concern terhadap soal itu, tapi apa yang dilakukan Belanda itu hanya untuk keuntungan politik perkebunan, saya harus merumuskan bagaimana ke depan, kita berdaulat pangan, kita jadi pusat pangan dunia, jadi dunia ini akan bergantung pada kekuatan petani-petani kita”.

Bung Karno tidak sekedar melakukan statemen, tapi ia melakukan sungguh-sungguh. Di tahun 1952 Bung Karno mendirikan Institut Pertanian Bogor.  Di podium Bung Karno menyerukan “Satu politik yang kuat dalam kemandirian pangan”.

Bung Karno memegang mikropon langsung berkata : “Pidato saya ini mengenai hidup matinya bangsa kita di kemudian hari…..Tahun 1940,  saudara-saudara…. tiap-tiap orang Indonesia mengonsumsi beras 86 kg pertahun. Berarti di tahun 1952, dengan jumlah penduduk 75 juta orang, Indonesia butuh produksi beras sebesar 6,5 juta ton. Namun, pada saat itu, produksi beras Indonesia baru 5,5 juta ton. Alhasil, Indonesia harus mengimpor dari Siam (Thailand), Saigon (Vietnam), dan Burma. Tetapi kenapa kita harus membuang devisen 120 juta sampai 150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu”

Pada pembukaan IPB Bung Karno melakukan gong politik pangan, pemuda-pemuda dididik sebagai pemuda pelopor pangan melakukan intersepsi ke pedesaaan membangun dan memperluas varian benih padi, memperluas bibit-bibit tanaman pangan. Tujuan besar Bung Karno adalah membangun jaringan petani yang bisa menghasilkan pangan, petani ini diartikan bukan saja di sawah, tapi di jenis-jenis panganan lain.

Indonesia adalah lautan perkebunan, tapi kata Bung Karno Indonesia juga adalah lautan pangan. “Kelak dunia akan menjadikan pangan dan energi sebagai sumber perebutan” kata Bung Karno di kesempatan lain.

Sejak tahun 1952 ribuan pemuda Indonesia terdidik soal pangan.

Setelah kejatuhan Bung Karno pada tahun 1966, politik pangan tidak dijadikan perhatian penting oleh para Jenderal Orde Baru. Pak Harto melihat bahwa yang pertama kali ditawarkan kepada pemberi hutang Indonesia adalah pembukaan ladang-ladang migas yang dikurung Bung Karno dan kemudian dibuka kembali lewat tuntutan Wina, Austria tahun 1967.

Barulah pada tahun 1968 politik pangan dijadikan perhatian penting setelah intelijen Orde Baru melihat bahwa politik logistik adalah ring kedua mengamankan kekuasaan setelah penguasaan penuh kendali di sektor energi. Pangan kemudian menjadi obsesi besar Suharto setelah mendapatkan masukan bahwa politik logistik adalah lanjutan dari politik minyak.

Namun saat itu negara tidak punya duit untuk membangun ketahanan pangan, di tahun 1970-an Pemerintahan Suharto mengajak beberapa cukong membangun jaringan importir pangan ke dalam satu mekanisme distribusi, disinilah kemudian para importir bisa menentukan harga.

Pemain importir yang biasanya main di Priok itu selalu diawasi oleh intel Orde Baru, agar harga pangan dikendalikan, kemudian agar pengendaliannya teratur diciptakanlah Bulog (Badan Unit Logistik) disini pangan menjadi kekuatan sentralistik sekaligus tangan kanan mengatur sirkulasi kesejahteraan rakyat sekaligus alat menindas rakyat atas kemerdekaan pangannya. Di titik ini Suharto berusaha harga pangan serendah mungkin dengan bargain pangan dibayar pada kepatuhan publik.

Bahkan di jaman Menteri Harmoko ada satu divisi sendiri di kantor Departemen Penerangan yang memantau informasi harga pangan secara update, pangan yang awalnya diarahkan sebagai alat kedaulatan oleh Bung Karno kemudian diarahkan jadi mesin upeti oleh Suharto, tapi satu hal alur upeti terkendali.

Pada tahun 1998 Suharto diserang habis-habisan oleh banyak IMF tentang politik subsidi pangan, oleh IMF biang kebangkrutan Indonesia adalah guyuran subsidi,  IMF secara teratur menembak politik pangan agar jangan sampai menjadi alat politik kedaulatan seperti di masa Demokrasi Terpimpin, tapi diarahkan dalam bentuk liberalisasi. Dengan adanya liberalisasi pangan maka Indonesia akan membuka dirinya terhadap limpahan produk bandar IMF, sehingga Indonesia akan bergantung pada mereka.

Tahap demi tahap subsidi dihapus, pada masa Pemerintahan Megawati hal ini sempat dilawan, Megawati berusaha kembali menarik politik pangan menjadi alat kedaulatan, Megawati memperluas perhatian terhadap benih padi unggulan, di masa Suharto benih unggulan habis oleh politik Intensifikasi, benih padi dibuat seragam jadi IR. Varian-varian benih padi bagus hilang, dimasa Megawati benih ini ingin dihidupkan tapi lebih jauh lagi Megawati merombak aturan dasar investasi bahwa “Beras, Gula dan Kebutuhan pokok lain tidak boleh impor” karena soal pangan bukan lagi soal keseharian, tapi sudah masuk ke wilayah ideologis.

Kenapa soal pangan masuk ke dalam tataran ideologis, karena pangan menyangkut hidup manusia didalamnya, energi yang didalam manusia inilah modal pokok sebuah bangsa, kemudian manusia di dalam satu bangsa tidak boleh diasingkan oleh pangan yang tidak tumbuh dalam halaman bangsanya.  Bila sebuah bangsa berdaulat atas pangan ia berdaulat dari sendi paling dasarnya dan tidak bisa didikte negara asing. Di masa Megawati juga ada aturan untuk melarang beras masuk ketika musim giling di pabrik-pabrik, dengan begini petani tebu dan pabrik gula diuntungkan.

Setelah masuk ke jaman SBY, politik pangan tidak lagi dimasukkan ke dalam situasi-situasi ideologis, pangan adalah sekedar impor. Dengan impor, fee makelar gampang didapat, kemudian Bulog yang dulu peranannya amat sentral dalam kebijakan pangan di Indonesia, dihancurkan diganti oleh peranan kementerian, disinilah kemudian Kementerian bermain dadu dengan para cukong mengatur harga, mengatur kuota impor.

Seperti kedelai, petani tidak bisa menanam kedelai, karena harga dihancurkan. Dengan harga dihancurkan maka peluang impor ada, pertama-tama impor dengan harga murah, lalu importir memainkan harga ketika ketergantungan tinggi. Lansiran Metro TV ini menunjukkan betapa rusaknya tataniaga pangan kita dibawah Pemerintahan SBY :

“Ada yang hampir monopoli. Kenapa monopoli? Karena kuotanya hampir 50%, yaitu PT FKS Multi Agro yang mendapat jatah 210 ribu ton atau 46,71 persen,” kata Direktur INDEF Eni Sri Hartati dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (10/9).

Dua perusahaan lain, yaitu PT Gerbang Cahaya Utama dan PT Budi Semesta Satria, masing-masing mendapat jatah 46.500 ton (10,31 persen) dan 42 ribu ton (9,31 persen). Bulog, yang merupakan institusi pemerintah, hanya mendapatkan jatah sebesar 20 ribu ton atau 4,44 persen.

Eni mengatakan bahkan ada banyak kalangan yang mengusulkan agar jatah impor Bulog ditambah menjadi 100 ribu ton. “Dengan demikian, jika ada satu perusahaan dari tiga itu tadi nakal, tidak heran akan terjadi penaikan harga di pasar karena stok terbatas,” kata Eni lagi.

(Kebijakan Pemerintah Memuluskan Kartel, Metrotvnews.com)

Disini importir dikuasai kartel melalui sistem monopoli, harga kemudian dikendalikan monopoli. Tiga perusahaan ini mengendalikan impor 1,4 juta ton. Sementara di sisi lain, gula juga dibajak kartel 3 juta ton, yang hanya diberikan kepada sembilan pengusaha pengusaha, Indef mengindikasikan sembilan pengusaha ini menjadi “Sembilan Samurai”. Angka 3 juta ton X 12 juta ton = 36 Triliun angka devisa yang harus dikeluarkan pemerintah.

Liberalisasi pangan yang dikuasai kartel ini gila-gilaan dan akan menjadi bom waktu. Kebijakan satu-satunya untuk menyelamatkan ini harus membawa kembali “Kedaulatan Pangan” sebagai bagian politik ideologis negara, bila tidak 250 juta penduduk Indonesia dijajah kebebasan pangannya oleh asing, harga tidak lagi didasarkan pada kesejahteraan masyarakat tapi pada “Pasar” yang dibentuk kartel.

Test hantaman Jokowi ke kartel di DKI sedikit banyak akan mengungkap betapa jahatnya sistem monopoli distribusi ini yang berkongkalingkong dengan otoritas.  Saya berharap sekali Jokowi mampu memainkan opini kartel seraya membuka kebobrokan kartel ke tengah publik.

-Anton DH Nugrahanto-.

http://politik.kompasiana.com/2013/09/16/kebijakan-pangan-gagal-total-di-era-sby-593231.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar