Selasa, 24 September 2013

Pembunuhan Petani Tebu

24 September 2013

Prof Dr M Maksum Machfoedz.

STABILISASI sapi masih tidak berarti. Diselingi silih-berganti oleh krisis bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe rawit dan banyak lagi produk horti. Disusul kemudian krisis tahu-tempe, karena pelangkaan kedelai demi tuntutan bebas cukai. Belum juga usai urusan kedelai, meski sudah diloloskan tuntutannya dengan jawaban KIB-II, Kabinet Indonesia Bersatu, yang menghapuskan pajak importasi kedelai dari 5% menjadi nol persen. Krisis lain mencuat lagi, ditandai oleh gerakan ribuan anggota APTRI, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, yang mendemo KIB-II karena pembunuhan petani tebu rakyat dalam negeri.

Tidak berlebihan jikalau disebut pembunuhan petani. Tidak hanya pembunuhan petani tebu yang sedang terjadi. Akan tetapi pembunuhan peternak, petani dan nelayan (PPN). Nyaris tidak bisa dibedakan antara kebijakan dan kebiadaban tataniaga. Nyatanya, tidak sedikit kebijakan yang lebih tepat disebut sebagai kebiadaban, biang ketidakadilan bagi jutaan produsen mikro, PPN RI. Kata RI ditegaskan karena, KIB berlebihan memanjakan importasi.

Bisa disimak beberapa kasus komoditas yang disebutkan. Masih ditambah pula sederetan komoditas penting PPN seperti garam, jagung, beras, susu, singkong dan sebagainya. Pangkal kesengsaraan dan penggerogotan kesejahteraan PPN tidak pernah berubah. Nyaris, semuanya berpangkal kepada kebijakan pembiadaban tataniaga yang tidak pro rakyat, mengorbankan PPN untuk memanjakan berlebihan kepentingan konsumen dan sekaligus menjadi tumbal nasional pengendalian inflasi berbasis impor.

Dalih kepentingan konsumen, keterbatasan daya beli dan pengendalian inflasi makin menjadi- jadi. Sepertinya mulia sekali orientasi kebangsaannya. Padahal, rasionalitas tersebut adalah dalih klise belaka, sulapan. Kepentingan yang sebenarnya adalah tujuan jangka pendek, memperoleh rente importasi para pemilik uang dan kroni, dengan segala gratifikasi. Mudah ditengarai ketika dilakukan pemetaan terhadap segala krisis tata niaga yang menimpa.

Untuk kasus sapi misalnya, 5.9 juta peternak miskin berikut jutaan keluarga tanggungannya, harus menerima nasib kebanjiran impor, demi murahnya daging sapi bagi konsumen, 16% saja warga Indonesia, konsumen menengah keatas. Begitu pula yang terjadi pada petani tebu. Dengan dalih sama, negara ini semakin banjir gula rafinasi berbasis gula mentah importasi yang rentenya dinikmati segelintir pemilik modal kelas tinggi.

APTRI bergolak. APTRI menuntut keadilan atas kebijakan pembangunan yang selama ini dipelintir dengan berbagai dalih, bahkan sampai upaya legalisasi. Referensi APTRI sangatlah kuat, yaitu SK Menperindag nomor 527/ 2004. Tetapi dikhianati sendiri oleh instansi terkait dalam operasionalisasi.

Pembiaran KIB-II terhadap membanjirnya gula rafinasi dalam pasar gula dalam negeri dan merebaknya pendirian pabrik gula rafinasi, merupakan pelanggaran legal. Apa yang terjadi adalah melawan ketentuan SK tersebut yang mengamanatkan bahwa importasi gula mentah, raw sugar, hanya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman, serta pantang masuk pasar gula RI.

Perihal lain yang lebih fatal lagi adalah pelanggaran terhadap SK 527 yang menyatakan bahwa importasi raw sugar hanya boleh dilakukan oleh perusahaan industri. Dalam kasus ini KIBII telah melakukan pembiaran importasi gula mentah dilakukan oleh perusahaan yang bukan termasuk kategori perusahaan industri, tetapi perusahaan perdagangan. Canggihnya KIB-II, ketika muncul protes diterbitkanlah SK: 376/M-DAG/SD/3/2012 sebagai legalisasi.

Dalam konteks bernegara, krisis pangan nasional, mulai dari membanjirnya importasi sapi, kedelai dan sebagainya. Ketika ditargetkan swasembada 2014, sampai dengan penerbitan SK 376 yang tidak sejalan dengan SK 527 sebagai legalisasi rente, menunjukkan fakta teramat menarik. Inkonsistensi betul-betul menjadi karakter kepemimpinan KIB-II. Fatalnya, kebijakan sendiri bahkan bisa dilanggar dengan pembijakan dan legalisasi yang tidak sejalan dengan target dan janji legalnya sendiri, sekedar demi pelampiasan syahwat jangka pendek sang kroni.

Pertanyaan publiknya, jikalau KIB-II senantiasa mencla-mencle begini, negara ini sepertinya tidak lagi ada gunanya ya? Sungguh diperlukan tata-ulang.

(Penulis adalah Staf Pengajar TIPFTP-UGM dan Ketua PBNU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2215/pembunuhan-petani-tebu.kr








Tidak ada komentar:

Posting Komentar