Senin, 23 September 2013

Liberalisasi Membuat Indonesia Terpuruk

23 September 2013

JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengingatkan, tekanan liberalisasi perdagangan dan investasi kepada Indonesia dalam forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik atau APEC awal Oktober mendatang akan sulit dihindari.

Negara-negara maju akan memanfaatkan momentum krisis ekonomi Indonesia untuk membuka keran proteksi pasar.

Jika tekanan liberalisasi ini disetujui pemerintah, menurut Ketua Koalisi Anti-Utang Dani Setiawan, dalam jumpa pers terkait penyelenggaraan APEC, Minggu (22/9), Indonesia akan terpuruk, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial.

Dengan kondisi infrastruktur yang belum memadai, produktivitas pertanian yang kecil, dan tidak jelasnya komitmen pemerintah mengembangkan industri manufaktur, pasar di dalam negeri akan diisi barang-barang impor. Selain itu, Indonesia juga akan terus didikte oleh kekuatan- kekuatan asing.

”Politik pemerintah mengelola bangsa ini dengan sistem ijon kepada negara-negara kapitalis lewat kesepakatan-kesepakatan multilateral yang merugikan. Tidak ada keuntungan bagi bangsa ini dari liberalisasi perdagangan,” katanya.

Dani khawatir, dengan kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami defisit dalam jumlah besar, pemerintah membutuhkan pasokan modal (pinjaman) luar negeri secara cepat. Akhirnya, forum APEC, yang akan diselenggarakan pada 1-8 Oktober, di Bali, dianggap cukup strategis untuk melobi negara-negara maju, antara lain Amerika Serikat, Jepang, Australia, China, dan Korea Selatan, untuk memberikan pinjaman baru.

”Ini membuka peluang untuk liberalisasi perdagangan dan investasi di banyak sektor, termasuk pertanian dan manufaktur. Dan itu sangat mungkin. Amerika Serikat, misalnya, sangat berpengalaman menggunakan kesempatan seperti ini untuk kepentingan politik ekonomi mereka,” ujar Dani.

Dengan liberalisasi perdagangan ini, bea masuk barang impor juga akan ditekan hingga nol persen.

Sejumlah laporan mengetengahkan, Indonesia saat ini mengalami tiga defisit akut, yaitu defisit perdagangan dan transaksi berjalan, defisit neraca pembayaran, serta defisit dalam APBN yang semakin melebar, mencapai Rp 200 triliun.

Tiga kondisi ini hanya bisa diatasi dengan gelontoran dana besar dan cepat dari pinjaman luar negeri.

Menurut Dani, yang paling mungkin dilakukan pemerintah di forum APEC nanti adalah mengundur jadwal liberalisasi, terutama di sektor industri pangan dan manufaktur.
Ketergantungan

Koordinator Petisi 28 Haris Rusly menyatakan, dengan mekanisme pinjaman luar negeri, selain mengalami ketergantungan pembiayaan, utang menjadi alat politik negara-negara kapitalis. Utang menjadi instrumen utama untuk memastikan dilaksanakannya kebijakan reformasi struktural meliberalisasi ekonomi Indonesia sesuai dengan kerangka APEC atau badan lain, semisal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Bank Indonesia mencatat, utang luar negeri pemerintah dan swasta per Agustus 2013 mencapai 257,980 miliar dollar AS dengan kewajiban pembayaran pokok dan bunga tahun ini mencapai 41,202 miliar dollar AS.

”Utang yang terus menumpuk akan menjadi beban bagi pemerintahan dan generasi mendatang. Ini tidak adil,” kata Haris.

Menurut Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi, disepakatinya liberalisasi perdagangan dan investasi nanti menunjukkan adanya desain politik untuk menghancurkan bangsa Indonesia. Praktik itu menguntungkan pencari rente di satu pihak dan memiskinkan rakyat di pihak lain. (K01)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/130923kompas/#/4/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar