Sabtu, 21 September 2013

Saatnya Daerah Jawab Krisis Kedelai

21 September 2013

Krisis kedelai yang terus berulang seakan mencerminkan kemauan politik setengah hati pemerintah pusat menyelesaikan persoalan ini. Produsen tahu tempe menjerit, petani kedelai satu per satu beralih komoditas.

Tata niaga kedelai seolah dibiarkan dikooptasi importir-importir besar yang bergerak seperti mafia sehingga semakin menyebabkan pertanian kedelai lokal loyo dan tidak berdaya. Karena itu, saatnya perubahan dimulai dari daerah untuk
membangkitkan budidaya kedelai varietas unggulan seperti halnya kedelai Grobogan, Jawa Tengah.

Demikian kiranya benang merah dari diskusi bertajuk ”Krisis Kedelai Berulang, Mungkinkah Kedelai Lokal Bangkit?” yang diadakan Kompas Perwakilan Jateng di Hotel Santika Premiere, Semarang, Selasa (17/9). Diskusi ini menghadirkan pembicara kunci Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, sejumlah pejabat di sektor pertanian dan perdagangan Pemprov Jateng, Perum Bulog, para akademisi dan peneliti kedelai, anggota DPRD, petani, dan koperasi primer tahu tempe selaku konsumen.

Gubernur Jateng, yang juga politisi PDI-P, Ganjar Pranowo, dengan keras menyatakan tata niaga kedelai di Indonesia saat ini tergolong bobrok. Itu dicerminkan dari perdagangan komoditas yang masih dikuasai mekanisme kartel oleh para importir kedelai.

Mengutip laporan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ganjar membuka diskusi dengan data bahwa perdagangan kedelai di Indonesia dikuasai 14 importir. Bahkan, ada tiga perusahaan yang memegang kendali peredaran hingga 60 persen.

Kebijakan impor seolah tak bisa dihindari mengingat produksi kedelai dalam negeri tidak bisa menutup kebutuhan. Saat ini, kebutuhan kedelai dalam negeri mencapai 2,5 juta ton per tahun, sementara produksi hanya 800.000 ton per tahun. Alhasil hampir 1,7 juta ton kedelai di Indonesia harus diimpor.

Pertanyaan yang muncul, seperti yang menjadi perdebatan hangat dalam diskusi Kompas, kenapa negara agraris seperti Indonesia tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan kedelai? Jawabannya sederhana, tetapi persoalan di baliknya sangat kompleks.

Luas lahan kedelai semakin sempit akibat enggannya petani menanam kedelai. Jateng, yang pernah menjadi salah satu sentra kedelai Nusantara, misalnya, pada 2010 luas panen kedelai 114.070 hektar, tetapi pada 2012 menyusut menjadi 97.112 hektar.

Produksi kedelai dari tahun ke tahun merosot, yakni dari 187.992 ton pada 2010 menjadi 152.369 ton pada 2012. Padahal, kebutuhan kedelai di Jateng sekitar 342.758 ton per tahun. Tentunya Jateng tidak sendirian dalam penurunan lahan kedelai. Kondisi yang sama juga terjadi di lahan pertanian kedelai di Jawa dan di luar Jawa.

Inilah yang membuat Ganjar gusar dan mengajukan tantangan supaya Jateng bisa kembali menjadi sentra kedelai. ”Kita mulai dari Jateng supaya bisa memenuhi kebutuhan kedelai sendiri terlebih dulu,” ujarnya.

Sekretaris Kelompok Tani Kedelai Kabul Lestari Grobogan Ali Mochtar mengatakan, sebagian besar petani kedelai beralih menanam komoditas lain seperti jagung dan kacang hijau karena jaminan pasar dan harga kedelai belum jelas. Selain itu, pengolahan pascapanen kedelai juga dinilai merepotkan.

”Belum lagi ancaman 7 jenis hama, mulai dari jamur, serangga, hingga tikus. Bertani kedelai memang cukup rumit pengolahannya,” kata Ali yang juga mengembangkan kedelai varietas Grobogan tersebut.

Saat ini, produktivitas budidaya kedelai petani rata-rata sekitar 1,5 ton per hektar. Dengan hasil yang minim, petani akhirnya tidak mau menanam kedelai lagi.

Menurut Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPPT) Jateng Ismail Wahab, sebenarnya sudah cukup banyak varietas unggul yang tahan hama dengan produktivitas tinggi. Selain kedelai varietas Grobogan, ada juga kedelai Anjasmoro dan Burangrang.

Ketiga varietas ini bisa menghasilkan kedelai hingga 3,4 ton per hektar. Bahkan, kadar protein kedelai jenis ini mencapai 33 persen, lebih tinggi daripada kedelai impor yang hanya 20 persen. (GRE/WHO/SON)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/130921kompas/#/19/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar