Rabu, 18 September 2013

Label Korupsi untuk Polri

18 September 2013

Mengutip hasil riset Transparency International Indonesia, KPK menyebut Polri dan DPR adalah lembaga terkorup di Indonesia.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Adnan Pandu Praja juga mengungkapkan masih tingginya indeks korupsi. Jika dilihat data tahunan TII, sebenarnya ada perbaikan dalam Indeks Persepsi Korupsi. Tahun 2009 dan 2010, IPK Indonesia berada pada angka 2,8, tahun 2011 naik ke angka 3,0, dan tahun 2012 ke angka 3,2. Skala yang dipakai adalah 1-10. Semakin besar indeks semakin bersih sebuah negara.

Rilis soal polisi dan DPR sebagai lembaga terkorup tidak mengejutkan! Meskipun TII mengukur indeks korupsi berdasarkan persepsi, persepsi tak bisa lepas dari fakta yang terungkap. Kasus korupsi yang melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo, yang memiliki kekayaan miliaran rupiah dan tak sebanding dengan profilnya sebagai anggota Polri, boleh jadi hanya satu kasus yang terungkap. Publik juga masih ingat kasus anggota polisi di Papua, Aiptu Labora Sitorus, yang memiliki rekening tak sesuai profilnya sebagai anggota polisi. Indonesia Police Watch menyebut uang dari Sitorus itu mengalir ke sejumlah pejabat kepolisian.

Kita apresiasi pernyataan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo yang meminta KPK memberi masukan agar Polri bisa memperbaiki diri. Namun, niat membenahi organisasi tidak akan membawa hasil jika hanya berbekal niat. Perlu ada kekuasaan dan keberanian untuk menegakkan aturan. Menuntaskan kasus Djoko Susilo dan mengusut siapa yang menerima aliran dana dari Sitorus adalah langkah yang bisa dilakukan Polri untuk membenahi organisasi itu. Putusan hakim pengadilan korupsi dalam kasus Djoko soal tindak pidana pencucian uang bisa menjadi pintu masuk.

Jalan membenahi institusi Polri atau DPR sebenarnya terbuka. Sejak berakhirnya Orde Baru, pemerintah giat memproduksi ketetapan MPR, undang-undang, peraturan pemerintah, dan instruksi presiden untuk memerangi korupsi. Lahir juga lembaga pengawas korupsi. Ada KPK, Ombudsman, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, dan BPK.

Secara teoretis, tak mungkin ada koruptor yang bisa lolos dari jerat aturan dan lembaga pengawas. Namun, faktanya korupsi masih saja merajalela. Parahnya, korupsi tak bisa dilepaskan dari belum adanya kesamaan pandangan antara eksekutif, legislatif, yudikatif, dan organisasi advokat soal pemberantasan korupsi. Konsensus itu harus dibangun.

Semua pihak harus menyadari bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang harus dihadapi dengan tindakan luar biasa. Tak ada gunanya KPK menangkap tersangka korupsi kalau kemudian dibebaskan hakim di Mahkamah Agung. Perlu ada keberanian untuk memberantas korupsi. Keberanian akan hadir dari orang-orang yang relatif bersih dan jujur.

http://epaper.kompas.com/kompas/books/130918kompas/#/7/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar