Rabu, 13 Mei 2015

Raskin dan Inflasi

Rabu, 13 Mei 2015

TIDAK berlebihan ketika dua kata dalam judul, dilacak relasinya, meski skenario peluncuran raskin tidaklah demikian. Raskin memang dirumuskan terutama untuk membantu keluarga yang memperoleh manfaat untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya atas pangan. Manfaat berikutnya dimungkinkannya pengalihan dana konsumsi beras oleh para keluarga penerima manfaat, untuk keperluan produktif, seperti usaha tani, bakulan dan sebagainya.

Ketika pimpinan daerah, provinsi maupun kabupaten/kota, sampai pimpinan nasional sudi menjabarkan lebih lanjut implikasi massalnya, raskin sesungguhnya memiliki kekuatan ekonomi politik luar biasa. Salah satunya perannya terhadap stabilitas harga pangan, khususnya beras dan daya tekannya terhadap inflasi. Posisi raskin seperti ini bisa membalik posisi langganan beras yang selama ini sebagai penyumbang terbesar kontribusi sektor pangan terhadap inflasi nasional, menjadi bemper inflasi dalam artian yang sesungguhnya.

Sorotan terhadap implikasi makroekonomi dalam relasi raskin-inflasi menjadi semakin relevan diperhatikan ketika terhitung bahwa secara volumetris, jumlah penerima raskin bisa mencapai 20-30% dari jumlah total kepala keluarga (KK) dengan jatah bulanan sebesar 15 kg/KK.

Khusus untuk DIY misalnya, jumlah penerima raskin 2014 adalah 288.391 KK, jumlah yang sangat berarti bagi DIY. Jatah bulanan raskin dengan demikian mencapai 4.325 ton beras. Beban pengadaan beras untuk memenuhi permintaan pada tingkat pasar konvensional bisa berkurang 52.000 ton setahun. Kebijakan khusus ini terbentuk dengan pasarnya yang khusus melalui tebusan Rp 1.600/kg, dan sangat terpisah dari pasar umumnya.

Keterpisahan pasar inilah yang merupakan potensi massal raskin dalam menjamin stabilitas harga beras. Sejumlah besar KK tidak masuk pasar konvensional karena raskin. Beban pasar beras menjadi agak longgar karena turunnya permintaan. Akan tetapi relasi dimaksud bisa menjadi malapetaka dan inflationary, sumber inflasi serta instabilitas, manakala keterisolasian dua pasar ini tidak terbentuk karena efektivitas raskin sebagai pangan yang tidak sempurna.

Realitas lapangan ternyata sangat memprihatinkan, terbukti dengan teramat seringnya terdeteksi kasus raskin yang tidak memenuhi sarat (TMS). Kasus TMS sejenis ini adalah biang bencana pasar, inflasi dan instabilitas. Kritik publik yang menyebut raskin TMS ini sebagai rasnguk-rasmuk-rastu alias beras penguk, beras remuk atau beras berkutu, adalah bahasa keseharian karena acapkalinya muncul kasus TMS. Akibatnya, sejumlah raskin dijual, tidak dikonsumsi, atau dipakai untuk peruntukan lain. Pada gilirannya sejumlah KK penerima raskin kembali masuk pasar konvensional, membeli beras layak pangan dan membengkakkan permintaan. Posisi raskin yang seharusnya menjadi sumber deflasi, perangkat stabilitas dan pengendali inflasi, dengan demikian lantas berbalik. Raskin kemudian menjadi sumber inflasi dan biang instabilitas ekonomi, hanya karena TMS dan tidak dikonsumsi sebagai pangan.

Terbukti bahwa raskin tidak hanya membantu penerima manfaat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pada saat yang sama, raskin adalah sumber stabilitas perekonomian nasional, stabilitas perekonomian daerah, dan bemper inflasi. Dalam kaitan inilah maka penting sekali bagi Tim Pengendali Inflasi tingkat manapun, daerah maupun nasional, untuk tidak pernah bosan memastikan pengendalian Bulog terhadap kualitas raskin sehingga tidak TMS.

Raskin memang pemenuhan hak asasi para penerima yang terdefinisikan dalam kuantitas dan kualitas yang jelas menurut ketentuan kebijakan terkait. Namun demikian melihat potensi raskin dalam perekonomian nasional yang telah diutarakan, tekanan oleh pemerintah pusat maupun daerah, terhadap pengendalian mutu raskin bukanlah sekadar upaya menjamin hak publik penerima manfaat untuk bisa menerima pangan sebagaimana direncanakan, bukan pakan. Pengendalian mutu raskin sekaligus memastikan bahwa raskin itu sumber deflasi, dan tidak justru memicu inflasi, instabilitas pasar, dan kemerosotan perekonomian nasional.

Sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui. Melalui pengendalian ini maka pelayanan kepentingan kemanusiaan akan terlaksana dengan baik, dan beban tugas TPI atau TPID, Tim Pengendali Inflasi Daerah, akan menjadi super sederhana. Insya Allah....

(Mochammad Maksum Machfoedz. Ketua PBNU, Guru Besar UGM, dan Anggota Pokja Ahli DKP Pusat)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/4010/raskin-dan-inflasi.kr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar