Jumat, 08 Mei 2015

Tiru Jepang, Indonesia Mesti Lindungi Petani

Kamis,7 Mei 2015

JAKARTA – Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia mesti meniru strategi Jepang yang sangat memproteksi secara besar-besaran industri otomotif dan sektor pertanian mereka dengan mengenakan pajak impor yang sangat tinggi. Saat ini, Indonesia dalam merespons liberalisasi justru melakukan kejahatan terhadap petani dalam negeri, misalnya dengan mengimpor gula mentah tanpa kendali saat panen tebu dan menerapkan harga gabah yang rendah.

Di sektor otomotif, pemerintah juga membuka pintu impor mobil yang sangat lebar dengan mengenakan pajak rendah untuk mobil yang sebenarnya tidak sesuai dengan kriteria mobil hijau atau low cost green car (LCGC).

Hal itu ditegaskan Rektor ITS Surabaya, Joni Hermana, ketika dihubungi, Kamis (7/5). "Dalam hal ini perlu komitmen pemerintah untuk men-support industri otomotif dalam negeri agar membangun sendiri. Sedangkan untuk pertanian saya kira sama saja, pemerintah harus membangun kemandirian pangan dengan kebijakan-kebijakan yang pro petani," tutur dia.

Di sektor pertanian, pakar pertanian UGM Yogyakarta, Masyhuri, mengemukakan Jepang sangat menutup impor pangan dengan subsidi dan tarif impor yang sangat tinggi. Subsidi dan proteksi produksi pangan mencapai 67 hasil petani Jepang dalam nilai yen.

"Sedangkan petani RI produksi kurang dari 40 persen dalam rupiah. Padahal, harga Jual gabah petani Jepang 8 kali lebih tinggi dari harga gabah petani Amerika dan beras Jepang 4 kali lebih tinggi di harga pasar domestik Jepang. Dan 6 kali Lebih tinggi dari beras petani Indonesia," jelas dia.

Menurut Masyhuri, seluruh hasil pertanian Jepang dinaungi dibawah satu federasi koperasi raksasa Jepang yang sama kuatnya melawan perusahaan multinasional dunia seperti Cargill. Sedangkan petani Indonesia masih dimakan oleh tengkulak dan sistem ijon.

"Bayangkan bagaimana petani tebu rakyat dipaksa melawan gula mentah impor pada saat panen raya karena oknum pejabat pemburu rente menjual izin impor, yang secara sistematik membunuh petani sendiri," ungkap dia.

Harga pasar gula di Jepang sekitar 2-3 kali harga gula di Indonesia. Jepang mengenakan tarif impor senilai 100 persen.

"Oknum pejabat yang keluarkan izin impor itu kejahatan, pasti ada iming-iming imbalan. Ini yang harua disidik Polri," lanjut Masyhuri.

Akibat kebijakan itu, kata dia, rakyat yang di ladang tidak pernah merasakan perbaikan nasib. Apabila pejabat terkait seperti menteri perdagangan, menteri pertanian, dan menteri bidang ekonomi lain tidak memahami fenomena ini maka kemampuan mereka layak dipertanyakan.

Permainan Impor

Joni memaparkan kebijakan otomotif yang kontra produktif adalah kolusi penghapusan pajak impor mobil. Dalih mobil LCGC yang dipaksakan adalah satu contoh permainan impor kendaraan dan komponen yang menggerus devisa nasional. Komponen mobil di Indonesia hampir semuanya atau 99 persen impor.

"Kebijakan itu berasal dari oknum pejabat korup yang menghasilkan kebijakan korup. Kalau pejabat yang mengeluarkan izin seperti ini tidak diberantas, mustahil Presiden Jokowi berhasil menjalankan program pro-rakyat," tegas Joni.

Sebagai perbandingan, AS masih mengenakan tarif 25 persen untuk impor mobil. Namun, Indonesia justru menurunkan tarif menjadi 5 persen. Apalagi, untuk jenis LCGC yang kriterianya dimanipulasikan pajaknya malah 0 persen.

"LCGC bukanlah kriteria green car. Akibat pembebasan impor, mobil dijual dengan harga murah sehingga membanjiri pasar dan mengakibatkan jalanan tambah macet. Ini mengakibatkan hilangnya waktu kerja 3-5 jam," papar Joni.

Joni menegaskan apabila industri dalam negeri, baik otomotif maupun agribisnis, jalan sendiri tanpa dukungan pemerintah, maka Indonesia akan kalah bersaing. " Untuk pertanian langkah Jepang memproteksi ketat komoditas dari desa ke pasar saya kira patut ditiru," tukas dia.

Seperti dikabarkan, pakta perdagangan bebas Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP) yang bakal terwujud seperti disampaikan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, setelah bertemu Presiden AS, Barack Obama, akhir bulan lalu, dinilai hanya akan menguntungkan produk-produk Jepang. Apalagi, Jepang memunyai kepentingan sangat besar untuk membangkitkan ekonominya setelah selama 15 tahun mengalami deflasi.

Kalangan pengusaha AS pun meragukan kesuksesan TPP, terutama melihat sikap Jepang yang selama ini dikenal sebagai negara yang sangat membatasi produk impor. Bahkan, Dewan Kebijakan Otomotif AS mengungkapkan selama ini produsen otomotif AS sulit mengatasi Jepang yang sering memanipulasi mata uangnya. Yen dilemahkan terhadap dollar AS dan euro demi mendongkrak eskpor, termasuk komponen kendaraan.

"Ada negara anggota TPP yang memiliki catatan kelam mengenai manipulasi mata uang untuk mendapatkan keuntungan perdagangan yang tidak adil atas mitra dagang mereka. Kondisi ini bagi AS tentu saja merusak manfaat yang diharapkan dari perjanjian TPP," tulis Dewan Kebijakan Otomotif Amerika seperti dikutip CNN. YK/SB/hay/WP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar