Sabtu, 23 Mei 2015

Swasembada Beras Plastik

Sabtu, 23 Mei 2015

BEBERAPA waktu lalu bangsa ini dihentakkan oleh susu campur melamin. Dan hari ini dihebohkan oleh beras plastik sudah beredar di Tanah Air, sejak beberapa hari lalu. Sama-sama merupakan unsur kebutuhan pangan primer, heboh pangan seperti ini tentu sangat memprihatinkan. Proteksi konsumen dan urusan food-safety, sungguh sudah waktunya ditegakkan oleh negara berdaulat Indonesia.
Sebagai pangan pokok dengan pilihan produk substitusi yang masih terbatas, sudah barang tentu beras plastik lebih hiruk-pikuk. Selama ini beras memang selalu hangat beritanya, menghentak-hentak, dan menyibukkan Kabinet Kerja (KK). Mulai masalah eskalasi harga beras 30% Maret lalu, mandulnya pengadaan Bulog sampai pro-kontra importasi. Seperti pendahulunya, KK pun senantiasa meneriakkan: Ganyang Mafia! Tangkap Mafia!
Hiruk-pikuk perberasan ini bisa dimaklumi karena nilai uang menggiurkan. Kalau data pemerintah benar adanya, konsumsi tahunan mencapai 31 juta ton beras. Nilai uang konsumsi tahunan, berdasarkan harga menurut Inpres 5/2015 sejak 17 Maret lalu, dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras sebesar Rp 7.300/kg, bisa mencapai jumlah Rp 226,3 triliun. Dengan aneka turunannya, nilai ekonomi-politiknya bisa mencapai Rp 500 triliun.
Bukan main besaran nilai ini dan semakin menggiurkan bagi pemburu rente. Itu pun masih ditopang dengan fanatisme kultural pada tingkat masyarakat yang melihat beras sebagai pangan primadona. Apapun kondisinya, masyarakat konsumen senantiasa berupaya sekeras-kerasnya untuk memenuhi konsumsi keluarganya terhadap beras sebagai makanan pokok primadona. Realitas demikian itulah yang menggiurkan bagi aneka permainan beras.
Meski demikian posisi sakral sebagai pangan primadona, proteksi terhadap konsumen adalah sesuatu hal yang tidak bisa ditawar sebagai bagian dari unsur pelayanan pada sisi pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar, dengan segala keamanan pangannya. Maraknya isu beras plastik, berikut lolosnya produk tersebut sampai menembus Tanah Air dan menyentuh perut konsumen Indonesia sungguh merupakan indikasi lemahnya proteksi ini.
Dari sisi konsumen, sudah tentu proteksi yang diperlukan tidak sekadar proteksi terhadap keamanan pangan secara teknis dan food safety. Akan tetapi sudah harus menyentuh pula kenyamanan konsumsi untuk tidak memungkinkan publik melakukan konsumsi terhadap barang yang tidak mengetahui karakter produk pangannya, yang harus aman secara teknis, kimiawi, sosial-kultural, ekonomi dan politik pangan.
Secara khusus, beras plastik ini telah mengganggu semua karakter dimaksud. Terlebih faktanya, tidak ada toleransi sekecil apapun bahwa bahan plastik ini dijadikan bahan makanan. Sebagai pembungkus makanan pun, plastik sudah teramat kontroversial bagi mereka yang sangat peduli terhadap keamanan pangan.  Kualitas plastik yang sembarangan, memungkinkannya mengeluarkan komponen yang tidak aman bagi kesehatan manusia. Konsumsinya sudah barang tentu tidak memenuhi kaidah makanan sehat.
Para ahli pangan Fakultas Teknologi Pertanian selalu mengingatkan bahwa pemakaian plastik untuk pembungkus bahan pangan, dan khususnya sebagai antisipasi terhadap pemanasan, harus memakai plastik yang food grade untuk menghindari bahaya panas dan pelepasan komponen saat panas. Sementara itu pemakaian plastik sebagai bahan pangan, seperti dipakainya plastik dalam campuran beras plastik, yang masuk perut sungguh tidak pernah bisa ditolerir. Zero tolerance! Catatan itu pun dilontarkan para ahli ketika ada kasus susu melamin.
Dalam urusan tataniaga dan perlindungan konsumen, beras plastik sudah harus masuk sebagai kejahatan luar biasa, extraordinary crime, sebagaimana narkoba dan korupsi. Karena dampaknya yang sistemik, massal dan membahayakan kehidupan masyarakat serta kehidupan bangsa. Beras plastik tidak hanya kejahatan yang terkait dengan bisnis, keamanan pangan, ketahanan pangan, kedaulatan, dan sejenisnya. Akan tetapi dia adalah ulah kejahatan yang melanggar bio-ethics, dan sekaligus menyebarkan bio-terorrism. Detik ini juga terorisme sejenis ini harus dihentikan.
Tanpa bersegeranya negara memberangus terorisme seperti ini, maka sangat dikhawatirkan kejahatan beras plastik akan mewarnai program swasembada beras yang berpotensi menjadi swasembada beras plastik. Karena sebagian akan dipenuhi melalui beras jenis biadab ini.

Prof Dr M Maksum Machfoedz (Penulis adalah Guru Besar UGM, Ketua PBNU dan Anggota Pokja Ahli DKP Pusat)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/4021/swasembada-beras-plastik.kr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar