Selasa, 12 November 2013

Indonesia Mencari Pemimpin

12 November 2013

Oleh: Adhie M Massardi

LAKON  Menunggu Godot adalah salah satu anak tangga yang membawa WS Rendra (1935-2009) naik ke puncak kariernya sebagai dramawan kelas satu di republik ini.

Disadur dari Waiting for Godot karya Samuel Beckett (1906- 1989), Rendra dengan Bengkel Teater-nya mementaskan drama yang absurd ini pada tahun 1970, tak lama setelah ia kembali dari menimba ilmu teater di ”Negeri Paman Sam”. Pementasan Menunggu Godot, dengan Rendra sebagai episentrumnya, menimbulkan gempa kebudayaan dahsyat yang bukan hanya berdampak ”tsunami teater” di antero negeri, melainkan juga menimbulkan demam absurditas di semua cabang kesenian: prosa, puisi, teater, dan seni rupa.

Drama yang mulanya ditulis Beckett dalam bahasa Perancis, dengan judul En attendant Godot tahun 1953 ini memang absurd. Mengisahkan dua anak manusia terasing yang digambarkan sebagai gelandangan: Vladimir dan Estragon. Kedua orang ini sama-sama menunggu ”sesuatu” yang mereka sebut Godot.

Guna mengisi waktu penantian yang tak bertepi itu, mereka ngobrol ngalor ngidul. Namun, hingga percakapan habis dan mereka harus mengulang kembali percakapan dari awal, tentang sepatu bot, dan seterusnya, yang ditunggu tak pernah datang. Bahkan, hingga layar diturunkan dan lampu ruang pertunjukan menyala, Godot tak juga muncul.
Menunggu Satria Piningit

Potret kegelisahan manusia mencari Tuhan yang dikemas dalam tragikomedi ini mengguncang kalangan intelektual di seluruh dunia. Karena itu, selain menghasilkan Hadiah Nobel, Menunggu Godot juga melahirkan banyak penafsiran. Namun, kaum terpelajar menjadikan Menunggu Godot sebagai adagium ”penantian yang mustahil dan sia-sia”.

Sejak diproklamasikan sebagai negara merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia seperti terus berproses menjadi panggung teater (politik) raksasa yang sedang mementaskan lakon absurd: Menunggu Godot. Adapun puluhan juta rakyatnya adalah Vladimir dan Estragon yang terus berdebat tentang kriteria dan identitas sang Godot, diselang-seling dengan topik pembicaraan remeh-temeh dan tidak esensial.

Pada mulanya, hingga 1970-an, lakon absurd yang dipentaskan di panggung raksasa Indonesia memang versi mesianisme tradisional ”Menunggu Satria Piningit”. Ia digambarkan akan mengejawantah menjadi ”Ratu Adil” yang akan membawa rakyatnya ke ranah yang berdaulat, adil, makmur, dan berkesejahteraan.

Namun, sejak mengenal peradaban demokrasi dengan provokasi sebagai instrumennya, para Vladimir dan Estragon itu bisa merekayasa sendiri identitas dan profil sosok Godot yang ditunggu-tunggu. Tentu saja Godot hasil rekayasa dan pencitraan berlebihan di media massa, yang dikuatkan dengan survei opini publik, ketika betul-betul muncul di pentas (politik) bukanlah Satria Piningit yang telah menjadi Ratu Adil, bukan pula Godot yang ditunggu-tunggu itu, yang akan membawa bangsanya ke ranah yang berdaulat, adil, makmur, dan berkesejahteraan.

Akibatnya, puluhan juta Vladimir dan Estragon Indonesia itu tetap menjadi gelandangan, kasak-kusuk di emperan depan gerbang kedaulatan yang adil dan makmur, yang tertutup dan menunggu dibuka sang Godot, atau dalam versi lokal, Satria Piningit yang mengejawantah Ratu Adil.

Setahun terakhir, di panggung teater raksasa Indonesia sedang dipentaskan babak paling absurd lakon Menunggu Godot sang pemimpin. Berjuta-juta Vladimir dan Estragon mengisi tiap ruang dan waktu. Mereka nongkrong, mulai dari warung kopi mobile dengan sepeda ontel, warung kopi rakyat, hingga warung kopi, yang dimodernisasi menjadi kafe. Mereka juga muncul di pangkalan ojek, terminal angkot, stasiun kereta, pelabuhan, dan bandara.

Pendek kata, tak ada ruang barang satu inci pun tanpa diisi Vladimir dan Estragon, dan tak ada waktu satu detik pun tanpa diisi percakapan tentang Godot. Bahwa Godot akan datang, berikut ciri-ciri dan kriterianya. Karena semua media massa, dalam segala jenisnya yang kompleks, mengangkat percakapan para Vladimir dan Estragon itu, langit Indonesia menjadi pekat dengan Godot dengan segala ciri dan kriterianya, dari yang masuk akal hingga yang musykil.
Negeri yang absurd

Krisis kepemimpinan yang panjang, demoralisasi di kalangan para penyelenggara negara, dan hilangnya kedaulatan hukum sehingga korupsi kian menggila mendorong bangsa Indonesia menjadi frustrasi dan kehilangan logika sehat. Lalu, masuk dalam pola berpikir absurd seperti Vladimir dan Estragon, sebagaimana digambarkan Samuel Beckett dalam Menunggu Godot.

Rumusan dan kriteria (ke)pemimpin(an) nasional yang diharapkan, memang seperti sosok Godot yang diperbincangkan Vladimir dan Estragon. Alhasil, saat dimunculkan dalam realitas kehidupan nyata, ia akan senantiasa berbeda. Karena meski

sudah menemukan sosok pemimpin sesuai kriteria yang kita rumuskan, sebelum muncul dalam realitas politik yang nyata, ia harus melalui proses (sistem) yang rumit, mahal, dan menjijikkan.

Pertama, karena tokoh yang sesuai kriteria pasti tak memiliki uang banyak, kita harus mencari bandar (pemilik modal) untuk membayar parpol agar mau mengusung ”Pemimpin Kita” jadi calon presiden. Sebab mustahil ada parpol yang mau mengusung ”Pemimpin Kita” tanpa bayaran, sebaik apa pun tokoh yang kita ajukan kepada parpol.

Kedua, kita kembali mencari bandar untuk membiayai iklan dan alat peraga guna mengampanyekannya agar—dalam istilah para pengamat politik—pengenalan dan elektabilitasnya meningkat. Secara berkala harus pula diukur melalui survei yang semua itu memerlukan biaya yang sangat mahal.

Ketiga, lagi-lagi kita harus mencari bandar untuk membiayai para saksi di puluhan ribu tempat pemungutan suara guna pengamanan suara. Sebab KPU dan Badan Pengawas Pemilu yang sudah dibiayai negara sejak awal sudah kehilangan integritasnya sebagai penyelenggara pemilu yang bersih.

Keempat, kita perlu satu bandar lagi guna mengantisipasi kemungkinan pengeluaran biaya pengacara dan lain-lain untuk menghadapi sengketa hukum di Mahkamah Konstitusi.

Setelah akhirnya terpilih dan ditetapkan sebagai pemimpin nasional, dengan empat cukong yang bisa mengencingi kepalanya setiap saat, mungkinkah ”Pemimpin Kita” bisa tetap dalam kriteria yang sudah dirumuskan itu? Memang absurd negeri yang kita cintai ini, bukan?

ADHIE M MASSARDI, Sekjen Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia; Inisiator Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih; Koordinator Gerakan Indonesia Bersih


http://epaper.kompas.com/kompas/books/131112kompas/#/7/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar