Rabu, 13 November 2013

Ketika Petani Samosir Kesulitan Bertani



13 November 2013


KOMPAS.com - Matahari sembunyi di perbukitan dan menyisakan jingga saat Darlin Sagala (41) meninggalkan sawah menuju rumahnya yang berjarak 20 meter, Jumat (8/11/2013). Dia baru saja mengakhiri sesi jaga. Saat padi mulai membunting, para petani di Desa Sikkam Pandan, Kecamatan Sianjur Mula Mula, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, seperti Darlin, harus siaga berjaga dari serangan hama burung dan banjir yang datang mendadak.

Banjir menjadi pengalaman traumatis bagi petani di Kecamatan Sianjur Mula Mula. Tahun 2011, puluhan hektar padi yang sudah menguning di Desa Sikkam Pandan, Aek Sipitu Dai, Habeahan Naburahan, dan Sari Marihit musnah diterjang banjir. Bahkan, petani di Desa Sari Marihit tak bisa lagi bertani hingga sekarang karena lahan mereka tertutup bebatuan yang dibawa banjir.

Persawahan warga ini terletak di lembah yang dikelilingi perbukitan. Sungai Binanga Bolon dan belasan anak sungai selalu mengalir ke persawahan ini sebelum bermuara ke Danau Toba yang berjarak sekitar 5 kilometer dari areal persawahan. Ketika banjir datang, areal persawahan ini seperti mangkok yang diguyur air dari ceret.

Para petani, seperti Darlin, tidak pernah bisa beristirahat tenang saat musim hujan datang seperti sekarang. Ketika mendengar gemuruh, mereka buru-buru ke sawah memanen paksa padi agar tidak musnah diterjang banjir. Meski sering kali upaya itu sia-sia lantaran belum waktunya dipanen, kadang banjir juga lebih cepat merendam padi-padi itu daripada tangan para petani yang tak cukup cekatan menyelamatkannya.

”Kadang dalam satu rantai sawah, kami hanya bisa menyelamatkan dua kaleng gabah dari yang semestinya 20 kaleng,” kata Ngotma Limbong (32), petani di Desa Aek Sipitu Dai.

Petani di Sianjur Mula Mula membagi petak sawah dalam bilangan rantai. Satu rantai setara dengan 400 meter persegi yang dapat menghasilkan 20-22 kaleng gabah. Satu kaleng sama dengan 16 kilogram.

Serba salah

Sianjur Mula Mula merupakan lumbung padi bagi Kabupaten Samosir. Sejak ratusan tahun lalu, mereka menanam padi dua kali setahun yang dimulai pada Januari dan Agustus dengan mengandalkan tadah hujan dan irigasi yang bersumber dari Sungai Binanga Bolon.

Mereka sudah dapat memanen padi pada Maret atau April saat padi ditanam pada Januari dan terhindar dari angin kencang yang selalu datang bulan Juni. Jika telat menanam, petani kerap gigit jari karena bulir-bulir padi rontok disapu angin kencang pada Juni.

Pada Agustus, mereka kembali menyemai bibit padi dan memanennya pada November. Meskipun Agustus jarang turun hujan, mereka masih dapat mengandalkan aliran Sungai Binanga Bolon yang selalu memasok air sepanjang tahun.

Namun, itu dulu. Dalam 15 tahun terakhir, pola tanam petani berubah karena alam berubah. Petani mencoba menyiasati perubahan alam, tetapi sering kalah. Sawah selalu direndam banjir pada Januari hingga Februari. Hal itu memaksa petani menunda tanam padi hingga Maret. Menjelang panen, petani harus adu cepat dengan angin kencang yang selalu datang pada Juni.

Tahun lalu, Leni Silitonga (34), petani di Sikkam Pandan, hanya menatap nanar batang padi yang ditinggalkan bulir-bulir gabah setelah angin kencang melanda. ”Rasanya sia-sia kerja empat bulan,” ujarnya.

Sungai Binanga Bolon pun tidak lagi setia. Pada musim kemarau, sungai tak lagi memasok air. Padi yang ditanam pada Agustus seharusnya sudah dapat dipanen pada November. Namun, karena kurang air, panen harus menunggu hujan datang. Akibat kekurangan air itu, produktivitas padi menurun. Dari biasanya menghasilkan 20 kaleng sampai 22 kaleng, kini tinggal 16 kaleng per rantai.

”Sekarang, batang padi kecil dan bulirnya belum gemuk. Padi hanya bertahan hidup, tetapi tidak bisa kembang,” ujar Darlin.

Hutan rusak

Perubahan alam itu diyakini petani sebagai dampak dari kerusakan lingkungan, terutama hutan di sekitar Danau Toba. Hutan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air dibabat perusahaan pengolahan kayu. Air hujan tidak dapat lagi tersimpan. Akibatnya, saat kemarau, warga mengalami kekeringan dan saat musim hujan, sawah kebanjiran. Puluhan mata air di sekitar Danau Toba pun mati.

Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara Halen Purba menilai, vegetasi yang tersisa di sekitar Danau Toba seluas 12 persen sampai 15 persen dari total luas daerah tangkapan air mencapai 365.800 hektar. Kerusakan tersebut antara lain akibat alih fungsi lahan menjadi hunian, ladang, dan kebun serta perubahan dari hutan alam menjadi hutan tanaman industri (HTI). HTI mengubah tanaman hutan yang heterogen menjadi monokultur, yakni Eucalyptus, bahan baku bubur kertas (pulp).

Akibatnya, larian (run off) air tinggi sebab jumlah pohon dan belukar terus berkurang. Banjir dan kekeringan pun kerap melanda lantaran air tak dapat tersimpan lama di areal hutan.

Tingginya larian air juga terlihat dari permukaan air Toba yang tidak stabil. Awal Juni lalu ketika Kompas mengunjungi Samosir, hujan lebat mengguyur hingga 12 jam. Air Danau Toba meluap sampai ke jalan, seperti terlihat di Pangururan, Kabupaten Samosir. Namun, awal November lalu, permukaan air danau menurun 1 meter dibandingkan pada bulan Juni.

Dampak lain kerusakan hutan ialah aneka satwa hutan kehilangan tempat tinggal dan harus berebut dengan warga. Babi hutan, dalam bahasa Batak Toba disebut aili, kerap memakan tanaman warga. Aili tinggal di hutan di perbukitan yang mengelilingi Danau Toba, termasuk di perbukitan Sianjur Mula Mula.

Selain menanam padi, warga di desa-desa Sianjur Mula Mula menanam ubi sebagai bahan pokok makanan. Ubi menjadi tameng ketahanan pangan ketika padi gagal panen, juga sebagai makanan pokok ternak babi.

Namun sejak 10 tahun lalu, aili-aili itu turun dari bukit-bukit yang mengelilingi Sianjur Mula Mula, merusak dan memakan ubi yang ditanam warga. Dalam semalam, belasan hektar kebun ubi ludes dimangsa. Belakangan, aili tak takut lagi masuk persawahan dan perkebunan pada tengah hari. Hama itu makin agresif.

Serangan aili meluas hingga desa lain. Warga tidak lagi berani menanam ubi karena itu sama saja mengundang aili. Ubi pun langka dan kini hilang dari Sianjur Mula Mula. Warga harus membeli dari Pangururan, ibu kota Samosir, jika membutuhkan ubi. Itu berarti, kerusakan hutan mengancam kedaulatan pangan warga.

http://regional.kompas.com/read/2013/11/13/0747585/Ketika.Petani.Samosir.Kesulitan.Bertani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar