Senin, 04 November 2013

Kebijakan Pangan Di Simpang Jalan

4 Oktober 2013

Persoalan mendasar adalah persoalan agraria. Penguasaan lahan perkebunan tanpa memberikan lahan layak tanam pada petani menanam komoditi pangan justru menjadi ancaman serius jangka panjang.

Tujuh kesepakatan yang dicapai dalam APEC 2013 yaitu meningkatkan kerjasama ekonomi, mempercepat keterhubungan masyarakat Asia Pasifik, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperkuat ketahanan pangan, energi dan pasokan air, saling melengkapi dengan proses multilateral dan regional, kerjasama sektor bisnis melalui Dewan Penasihat Bisnis APEC, serta meningkatkan upaya untuk mencapai Deklarasi Bogor 2020. Deklarasi tersebut menegaskan terwujudnya investasi dan pedagangan bebas tahun 2020 telah kita sepakati di negeri kita sendiri (Bali)

Mari kita lihat butir ke lima dari kesepakatan yang dicapai oleh APEC di Bali Tahun 2013 itu, yaitu persoalan ketahanan pangan--yang dapat dilakukan seperti kerjasama multilateral dengan negara APEC dalam memecahkan persoalan pangan. Artinya tidak lama lagi maka kebijakan pangan kita akan diobok-obok oleh kapatalis yang bersembunyi dari kesepakatan demi kesepakatan.

Sebenarnya Indonesia termasuk negara gagah perkasa, karena walaupun masih terdapat banyak permasalahan--mulai dari pengembangan SDM yang tertinggal, pangan yang masih jauh dari swasembada khususnya daging dan kedelai, infrastruktur yang masih belum optimal mendukung pencapaian pangan yang melibatkan pada akar masalah petani khususnya kesejahteraan petani dan persoalan energi yang belum juga terselesaikan--namun kita ikut menandatangani 7 butir kesepatakan APEC.

Uniknya kita punya Undang-undang No.18 Tahun 2012 yang seyogianya dijadikan acuan kebijakan pangan secara nasional--baik yang menyangkut tentang aspek ketersediaan dan kerawanan pangan, konsumsi dan mutu serta keamanan pangan serta distribusi dan akses pangan. Implikasi penting dari lahirnya UU ini adalah bagaimana Indonesia tidak hanya tahan pangan tetapi juga pencapaian kedaulatan pangan.

Kedua kebijakan ini seperti bumi dengan langit. Satu sisi kita harus dalam posisi ketahanan pangan yang di dalamnya adalah ruh liberalisasi perdagangan pangan seperti pada kesepakatan APEC. Namun pada sisi lain kita ingin berdaulat seperti amanat UU dengan ruh semangat nasionalisme yang anti leberalisasi pangan mulai dari sisi input produksi, proses dan pemasarannya.

Persoalan Saat ini

Tiga sub sistim dalam ketahanan pangan adalah menyangkut aspek ketersediaan dan cadangan pangan, distribusi dan akses pangan, serta konsumsi, mutu dan keamanan pangan. Seharusnya ketiga sub sistim ini terintegrasi dalam kebijakan yang dilahirkan dari multi SKPD.

Ketersediaan dan cadangan pangan seyogianya dikomandoi Dinas Pertanian dan Bulog, sedangkan SKPD lain sebagai penopangnya. Distribusi dan akses pangan mestinya dikomandoi Dinas perdagangan dan Perhubungan sedangkan yang lain menyokongnya. Dan Konsumsi, mutu dan keamanan pangan harusnya dikomandoi oleh Dinas Kesehatan.

Apa yang menarik adalah tokoh-tokoh dalam SKPD ini jarang duduk bersama ngobrol tentang ketahanan pangan sebagai satu kesatuan dalam sistem. Beberapa pertemuan yang dilakukan dimana saya sebagai nara sumber, hampir tidak pernah kepala-kepala dinas tersebut duduk dalam satu meja untuk menentukan arah kebijakan pangan secara integratif dan holistik.

Saya juga sangat yakin, kejadian ini tidak hanya pada provinsi kita, tetapi juga provinsi lain di Indonesia. Dan celakanya nanti jika pada tingkat kementrianpun mereka tidak membicarakannya secara bersama. Maka membicarakan ketahanan pangan pada level APEC seperti jauh panggang dari api.

Persoalan paling mendasar pada ketersediaan pangan kita adalah persoalan agraria. Penguasaan lahan oleh pihak perkebunan tanpa memberikan lahan yang layak tanam kepada petani untuk menanam komoditi pangan justru menjadi ancaman serius terhadap ketahanan pangan kita dalam jangka panjang.

Padahal jika lahan terlantar tanpa tuan diberikan pada petani maka ketersediaan pangan kita akan terdongkrak naik. Belum lagi persoalan bibit pangan kita yang masih diimpor dan tidak dibenarkannya petani mengembangkan varietas sendiri karena beberapa bibit tersebut telah dipatenkan. Bukankah ini sebagai penjara bagi petani petani untuk berkembang? Jika kita bicara kedaulatan pangan barulah mereka terbebaskan.

Kalau dirinci tidak cukup halaman ini untuk mencurahkan problematika pangan kita saat ini. Paling tidak ruh reforma agraria dan impor input produksi dapat menjadi cermin bahwa kita tidak sangat siap untuk menghadapi badai liberalisasi pangan saat ini.

Di Simpang Jalan

APEC di Nusa Dua Bali 1-8 Oktober, sengaja mengangkat tema Resilient Asia-Pacific, Engine of Global Growth. Menurut mereka isu ini harus mampu mendorong pertumbuhan kawasan dan dunia. Selain itu, selaku tuan rumah serta sebagai pimpinan dalam penyelenggaraan APEC 2013, Indonesia berencana memanfaatkan peluang tersebut untuk menggulirkan gagasan penguatan kawasan Asia-Pasifik dengan mencanangkan gagasan Komunitas Ekonomi Asia Pasifik.

Seperti bayi yang baru berdiri sudah disuruh berlari itulah analogi untuk kita dalam APEC. Sesungguhnya liberalisasi investasi dan perdagangan bebas hanya akan membawa Indonesia kepada jurang krisis. Beberapa fenomena ekonomi Indonesia saat ini seperti adanya defisit perdagangan, defisit neraca pembayaran dan defisit dalam APBN yang semakin lebar--akibat pelemahan ekonomi serta polemik harga komoditas pangan pokok seperti kedelai, daging sapi dan lain sebagainya adalah merupakan dampak dari liberalisasi pasar itu.

Bukan hanya serangan produk pangan dari luar ke negara kita yang mengkhawatirkan tetapi juga liberalisasi pasar dan fasilitasi investasi asing ternyata menyebabkan munculnya distorsi--seperti penguasaan kartel, mafia dan mapia impor pangan. Artinya sesungguhnya kita belum memiliki keunggulan kompetitif dengan negara anggota APEC lainnya untuk liberalisasi perdagangan. Petani kita masih butuh perlindungan dari serangan asing. Mereka perlu tanah untuk bertanam mengisi perut kita.

UU No.18 Tahun 2012 sesungguhnya koreksi terhadap UU Pangan 1996 lama yang menekankan pada ketahanan pangan yang lebih mengutamakan ketersediaan stok pangan. Artinya dalam kondisi tertentu apabila negara kekurangan stok maka pilihan untuk menyelesaikan kekurangan stok adalah dengan impor. UU ini menggiring Indonesia pada kadaulatan pangan.

Mari kita sadari bahwa terdapat 28 jenis pangan saat ini kita impor termasuk 1. Beras nilai impor US$ 124,36 juta dengan volume impor 239,31 juta kg dan negara asal Vietnam, Thailand, Pakistan, India, Myanmar, dan lainnya; 2. Jagung nilai impor US$ 393,18 juta dengan volume impor 1,29 miliar kg dan negara asal India, Argentina, Brazil, Paraguay, Amerika Serikat dan lainnya.

3. Kedelai nilai impor US$ 509,47 juta dengan volume impor : 826,33 juta kg dan Negara asal : Amerika Serikat, Malaysia, Argentina, Ethiopia, Ukraina dan lainnya. 4. Biji Gandum dan Meslin nilai impor US$ 1,22 miliar dengan volume impor 3,24 miliar kg dan negara asal Australia, Kanada, India, Amerika Serikat, Singapura, dan lainnya. 5. Tepung Terigu nilai impor US$ 36,8 juta dengan volume impor 82,5 juta kg dan negara asal Srilanka, India, Ukraina, Turki, Jepang, dan lainnya.

6. Gula Pasir nilai impor US$ 20,06 juta dengan volume impor 32,64 juta kg dan negara asal Thailand, Malaysia, Australia, Korea Selatan, Selandia Baru, dan lainnya. 7. Daging sejenis Lembu nilai impor US$ 87,25 juta dengan volume impor 17,86 juta kg dan negara asal Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Singapura, Korea Selatan dan lainnya. 8. Jenis Lembu nilai impor US$ 123,84 juta dengan volume impor 44,28 juta kg dan negara asal Australia dan lainnya.

Dalam kedaulatan pangan ini tidak boleh terjadi. Kita harus mampu menyediakan produk impor pangan tersebut secara mandiri. Pertanyaannya adalah mampukah kita mengingat sub sistim ketahanan pangan kita masih sangat pincang? Atau tetapkah kita harus menerima kesepakatan liberalisasi di bidang pangan dari aspek produksi dan perdagangan sebagai jawababan pemenuhan kebutuhan pangan bagi rumah tangga bangsa ini tanpa pernah kita singgung dari mana pangan itu dip roses dan di produksi?

Semangat desentralisasi pangan sebagaimana amanat UU No.18 Tahun 2012 saya anggap hanya bermuatan politis dan hampir tidak menyentuh persoalan pangan yang sebenarnya. Masih banyak daerah tidak menghidupkan lembaga pangan karena ketidakpahaman dan ketidakpedulian pemerintah daerah terhadap persoalan pangan bagi rakyatnya.

Desentralisasi seolah menjadi warna-warni dari sebuah kekuasaan dimana kebijakan perpanganan selalu tidak terintegrasi dengan baik antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah propinsi dan pusat. Belum terlihat semangat kerjasama sinergi antar daerah satu propinsi untuk menyelesaikan persoalan pangan jangka menengah dan panjang.

Desentralisas pangan tentu beragam tergantung dari potensi daerah masing-masing. desentralisasi yang dianggap sesuai untuk pangan adalah bagaimana memberdayakan produsen dan konsumen secara simultan dengan paket kebijakan yang sejalan. Untuk itu diperlukan Renstra pangan yang komprehensif antar daerah dengan daerah, antar daerah dengan provinsi dan antara daerah dengan pusat. Tidak diperlukan desentralisasi pangan hingga ke tingkat II. Pangan harus diurus oleh pemerintah pusat hingga provinsi saja.

Penutup

Tanggal 31 Oktober di Sumatera Barat Presiden hadir dalam acara Hari Pangan Sedunia yang diperingati secara nasional dimana dua hari sebelumnya disepakati kerjasama 15 provinsi dalam menyongsong ketahanan pangan. Kita tentu berharap kita tetap memelihara ketahanan pangan kita. Namun dalam sisi lain kedaulatan pangan kita harus tetap menjadi tujuan jangka panjang. Dunia bagaikan jendela, sedikit dibuka maka arus akan masuk tanpa terbendung. ***** (Dr Ir Satia Negara Lubis, MEc: Penulis adalah Dosen Pascasarjana USU. )

http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=30544:kebijakan-pangan-di-simpang-jalan-&catid=59:opini&Itemid=215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar