Minggu, 10 November 2013

Kedaulatan Perut

10 November 2013

Dari berbagai literatur dapat disimpulkan secara sederhana bahwa konsep ketahanan pangan adalah upaya mencukupi ketersediaan pangan sesuai perhitungan kebutuhan masyarakat, tidak mempertimbangkan dari mana pasokan pangan tersebut berasal. Model konsep ini lebih mendasarkan pada pasar global yang mengutamakan nilai ekonomis.

Sementara itu, filosofi kedaulatan pangan adalah penyediaan pangan dengan mengedepankan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat, berbasis pada kearifan lokal serta mempertimbangkan keberlanjutan dengan sasaran utama adalah pemenuhan konsumsi domestik.

Dalam perkembangan perekonomian global saat ini, sektor pangan rupanya telah menjadi unsur yang sangat penting, bahkan menjadi kunci bagi kemanan nasional. Artinya, ancaman terhadap kedaulatan pangan akan memperlemah jaminan terciptanya keamanan nasional.

Kedaulatan pangan mesti dijadikan prioritas kebijakan negara guna menjamin keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia bersatu padu mendukung sektor pertanian pangan dengan proteksi yang inovatif, negosiasi dalam percaturan pertanian dunia yang cemerlang, serta memacu produktivitas dengan berbagai cara.

Kegagalan kebijakan pemerintah dalam pengembangan pangan selama ini, antara lain penyeragaman konsumsi pangan masyarakat, yaitu beras, berakibat pada tingginya kebergantungan pangan terhadap beras. Orientasi pembangunan pertanian pun terfokus pada peningkatan produksi beras semata, bukan pada kesejahteraan petani secara menyeluruh.

Bahkan, ruang bagi petani mengembangkan inisiatif pangan lokal pun dibatasi. Ketika pembangunan semakin maju dan membutuhkan pengembangan lahan untuk fungsi-fungsi ekonomi lainnya, lahan pertanian semakin tergerus dengan cepat. Ditambah lagi dengan penerapan konsep monokultur dan intensifikasi pertanian yang terbukti tidak bertahan.

Semenjak krisis ekonomi pada 1997, kondisi pangan di Indonesia semakin terpuruk. Saat pemerintah menandatangani perjanjian utang dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang mensyaratkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Indonesia, salah satunya adalah impor bahan pangan, dampaknya semakin nyata terutama semakin besarnya kebergantungan pada bahan pangan impor.

Memang, persoalan paling kronis sektor pertanian adalah laju liberalisasi dan masih rendahnya keberpihakan pemerintah. Liberalisasi yang menggila membuat sektor pangan Indonesia semakin tak berdaulat. Rendahnya keberpihakan kebijakan pemerintah membuat sektor pertanian semakin inefisien sehingga kemandirian pangan seolah hanya pemikiran di senja esok hari.

Hempasan liberalisasi yang paling kentara adalah dilepaskannya pangan utama (beras, jagung, kedelai, gandum, gula, dan minyak goreng) yang awalnya di bawah pengawasan Bulog ke pasar. Bulog pun menjadi Perum yang berorientasi profit. Tugas Bulog yang membeli dan mengadakan produk dari petani saat musim panen secara maksimal hanya isapan jempol belaka.

Belum lagi, keberadaan perusahaan asing yang menguasai sektor pertanian. Sebagai contoh, ada beberapa pertanian pangan yang diambil alih oleh asing, terutama benih jagung, padi hibrida, dan hortikultura. Industri input pertanian hanya dipasok oleh beberapa perusahaan multinasional dengan nilai penjualan mencapai 340 triliun rupiah. Selain itu, petani sangat bergantung pada industri olahan dan pedagang pangan. Bahkan, sepuluh besar MNC menguasai penjualan pangan hingga 3.477 triliun rupiah.

Kebijakan impor tak kalah mengerikan. Kedengarannya memang paradoks, bahwa negara dengan bentangan yang luas dan berstatus agraris malah melakukan kebijakan impor dengan skala yang masif. Bayangkan saja, pemerintah rata-rata rela mengeluarkan kocek hingga 110 trilliun rupiah untuk melakukan impor pangan. Namun, hanya sejumlah 38,2 trilliun rupiah untuk membiayai pembiayaan pertanian dalam APBN. Selama ini, argumentasi yang dikemukakan hingga membuka keran impor lebar-lebar adalah inefisiensi produksi pangan dalam negeri, seperti beras.

Tanpa keberpihakan pemerintah, mustahil sektor pertanian Indonesia mampu berdaulat di negeri sendiri karena kalah bersaing dengan petani dari negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), yang diproteksi ketat dan disubsidi sangat besar oleh pemerintahnya.

Karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk bersatu padu, mendukung sektor pertanian dengan proteksi yang inovatif, negosiasi dalam percaturan pertanian dunia yang cemerlang, serta memacu produktivitas dengan berbagai cara.

Salah satu bentuk proteksi adalah menerapkan tarif impor tinggi guna melindungi kepentingan petani dalam negeri. Akan tetapi, saat ini tarif impor produk pangan Indonesia terbilang sangat rendah, berkisar 5 persen.

Padahal, negara raksasa seperti AS memberikan jaminan harga pangan kepada petaninya, seperti gula, lebih dari 60 persen dari harga dunia. Jadi, sekali lagi, ada kebijakan salah yang diterapkan pemerintah untuk menjamin kedaulatan perut rakyatnya. Paradigma kebijakan pangan mesti dirombak, jangan menunggu sampai krisis pangan datang sehingga menebarkan kelaparan di Nusantara.

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/133052

Tidak ada komentar:

Posting Komentar