Kamis, 07 November 2013

Mewariskan Karakter Pahlawan

7 November 2013

Sejarah mencatat Sekitar 6,000-16,000 pejuang Indonesia gugur dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dalam peristiwa 10 November 1945 yang sangat bersejarah. Salah satu fakta sejarah dalam peristiwa itu adalah keterlibatan para pendidik, yakni para kyai/tokoh masyarakat, seperti seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah bersama anak didiknya (para santri) yang terjun langsung mengangkat senjata melawan para penjajah.

    Semangat kepahlawanan memang kental dengan nilai-nilai spiritual dan akhlak yang agung. Nilai-nilai inilah yang diharapkan bisa membangun karakter bangsa yang selama ini kurang mendapat perhatian serius masyarakat kita. Peringatan Hari Pahlawan seharusnya mengajarkan kita tentang karakter pahlawan yang merupakan tanggung jawab setiap generasi untuk mewariskannya kepada generasi selanjutnya.

    Usia negara kita sudah 68 tahun, umpama PNS, sudah pensiun bahkan bisa dianggap cukup tua. Tetapi, kadang bangsa kita belum dewasa dalam hal mengelola politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sebagian masyarakat intelektual kita ketika membaca peta kehidupan bangsa ini, masih diliputi spirit kelompok dan golongan sehingga berdampak pada pola pikir dan sikap lakunya yang sempit.

    Masyarakat ideal, menurut filosofi Pancasila, ialah masyarakat yang mampu membaca denyut kehidupan bangsa secara vertikal dan horizontal. Artinya, masyarakat Indonesia yang konsisten dengan nilai-nilai agama dan perilaku budayanya dengan semangat Bhineka Tunggal Ika. Adanya perbedaan dalam agama dan budaya merupakan jalinan kesatuan hidup berbangsa dan bernegara. Yang penting, antara pemeluk agama dan kelompok tidak saling menghujat dan meyakini adanya esensi perbedaan antara agama dan kelompok yang satu dan lainnya hingga terajut rasa saling pengertian di bawah bendera Merah Putih.

    Karakter bangsa Indonesia pernah diutarakan oleh Presiden Soekarno dalam bukunya "Di Bawah Bendera Revolusi" yang disebut character building. Memang, bangsa yang maju dan berbudaya harus punya karakter atau watak bangsa. Namun, karakter itu tidak lahir begitu saja seiring dengan lahirnya manusia Indonesia setiap hari. Melainkan, harus mendapat sentuhan nilai-nilai terutama nilai agama yang dikemas dalam bentuk pendidikan karakter atau akhlak.

    Pendidikan karakter terkait dengan nilai-nilai yang bersifat spiritual, seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, hemat, peduli sesama, hormat dan santun. Nilai-nilai seperti ini tidak dapat diajarkan begitu saja secara kognitif di sekolah. Tetapi, perlu diangkat dalam program dan pelajaran yang bersifat aplikatif. Artinya, anak didik dihimbau untuk membiasakan nilai-nilai yang baik dalam kehidupannya. Bukan sekedar dihafal dan dipakai untuk bahan ujian supaya lulus dan mendapat nilai A, B, atau C. Tetapi, lewat proses latihan, simulasi dan praktik dalam kehidupan keseharian sehingga menyatu dengan dirinya.

    Secara filosofis, nilai-nilai Pancasila bisa menjadi basis pembinaan karakter. Aplikasinya pun bisa dijabarkan dari nilai-nilai agama yang diyakininya.

    Pendidikan berbeda dengan pengajaran. Pendidikan berfungsi untuk membangun dimensi batiniah, sedangkan pengajaran dimensi lahiriah. Namun di satu sisi, bukan berarti batin dan lahir itu dipisahkan, tetapi disatukan menjadi keutuhan pendidikan manusia.

    Pendididkan karakter tidak bisa lepas dari 3 lingkungan di mana manusia berada, yang secara teoritis punya peran besar dalam membentuk karakter dan kepribadian manusia.

    Pertama, lingkungan keluarga. Ini adalah lingkungan pertama dan utama dalam membentuk karakter. Peran ibu dan ayah sangat dominan dalam transformasi nilai kehidupan kepada anak yang tumbuh dan besar dalam rumah keluarga.

    Kedua, lingkungan masyarakat, merupakan lingkungan pendidikan tanpa arah dan tanpa konsep. Siapa saja bisa terkena pengaruh lingkungan jenis ini tanpa filter. Oleh karena itu, sangat bergantung pada lingkungan sosial dimana seseorang itu tinggal.

    Ketiga, lingkungan sekolah. Yakni, lingkungan pendidikan yang disengaja dengan sistem dan kurikulum pengajaran. Guru berupaya membangun karakter anak didik berdasarkan visi dan misi pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan secara konsepsional, meski secara aplikatif masih perlu diuji.

    Namun, ada satu lingkungan lagi yang selama ini lolos dari pengamatan kita, yakni lingkungan maya. Lingkungan jenis ini belum banyak mendapat perhatian dari para ahli pendidikan. Dalam konteks sekarang, justru ini yang paling berpengaruh dalam proses pembentukan karakter. Dunia maya yang tanpa batas menayangkan berbagai informasi kapan saja dan di mana saja tanpa filter, dan masuk ke dalam ruang-ruang manusia seperti hati dan akal, kemudian diolah atau diproses untuk ditiru.

    Lingkungan maya potensial dapat merusak moral generasi bangsa kita, yang menerima dan meniru begitu saja informasi dari tayangan-tayangan tanpa sensor dan filter bebas hambatan dapat disaksikan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai atau informasi yang ditangkap pemirsa, mereka terima sebagaimana pelajaran di sekolah tanpa sadar.

    Pemerintah dan para tokoh masyarakat tentu punya tanggung jawab moral atas tontonan atau tayangan-tayangan televisi. Banyak di antaranya tidak mengandung nilai edukatif bagi masyarakat, penuh kekerasan, tahayul, maksiat, dan tayangan yang tidak bernilai belum memiliki visi dan misi untuk membangun karakter bangsa.

    Hari Pahlawan adalah salah satu moment untuk mendidik dan membangun karakter bangsa Indonesia. Yang diharapkan, bangsa ini makin peduli dengan nilai-nilai akhlak masyarakat hingga menjadi bangsa yang berkarakter, bermartabat dan dihargai oleh bangsa lain. ***

Oleh Hj Aida Z Nasution Ismeth
Penulis adalah anggota DPD RI dari Provinsi Kepulauan Riau,
Ketua Umum Gerakan Masyarakat Peduli Akhlak Mulia
Provinsi Kepulauan Riau.

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=337941

Tidak ada komentar:

Posting Komentar