Rabu, 06 November 2013

Sektor Pangan Indonesia Berpotensi Ambruk

6 November 2013

Pemerintah Abaikan Persyaratan Menjadi Negara Berdaulat Pangan

JAKARTA – Indonesia kini dinilai menghadapi ancaman serius soal kedaulatan pangan karena pemerintah tidak serius mewujudkan kemandirian pangan yang berasal dari sumber dalam negeri.

Bahkan, jika tidak segera melakukan perubahan mendasar pada semua parameter yang dipersyaratan untuk menjadi negara berdaulat pangan maka sektor pangan nasional dipastikan akan ambruk.

Padahal, sebagaimana dikabarkan, sektor pangan saat ini dianggap sebagai kunci dari national security atau keamanan nasional. Oleh karena itu, setiap negara akan memprioritaskan kekuatan pangan masing-masing guna menjamin keamanan negara mereka.

Bagi Indonesia pun, sebagai negara berpenduduk keempat terbesar dunia, masalah pangan sangat berpengaruh bagi national security dan kebutuhannya kian meningkat setiap tahun.
Ancaman potensi ambruknya seaktor pangan nasional itu diungkapkan oleh Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Ahmad Yakub, ketika dihubungi, Selasa (5/11).

Menurut Yakub, era perdagangan bebas menyebabkan masalah pangan global menjadi kian kompleks dan membuat setiap negara memacu kedaulatan pangan. Akan tetapi, Pemerintah Indonesia justru mengabaikan hal-hal mendasar yang menjadi syarat mutlak negara berdaulat pangan.

“Negara-negara pengekspor pangan melakukan empat hal mendasar yang di negeri ini malah tidak diurus sama sekali,“ papar dia.

Pertama, kata Yakub, memastikan ada lahan pertanian dengan skala tertentu yang membuat sektor pertanian menarik untuk dikerjakan. Di Amerika Serikat (AS), skala minimal sekitar 40 hektare (ha), di Thailand 4 ha, sementara di Indonesia laju konversi lahan pertanian justru tidak terbendung.

Kedua, memastikan teknologi pertanian berkembang. Ketiga, proses pascapanen yang terstuktur. Yakub mencontohkan di Thailand ketika puncak panen mangga dan duren, harga di pasaran tidak pernah turun karena ada usaha kecil-menengah yang menyerap hasil panen itu untuk dijadikan produk turunan seperti manisan dan keripik.

Keempat, lanjut dia, subsidi dan proteksi dari pemerintah setempat dengan berbagai cara untuk bisa lolos dari sanksi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Contohnya, pemerintah AS mengatasnamakan subsidi lingkungan bagi petani agar mendapat kucuran dana.

Alasannya, petani yang menjaga kelestarian lingkungan. Apabila petani tidak mongonversi lahan, ada subsidi rutin yang diterima, petani yang rawan bencana banjir dan perubahan iklim pun mendapat subsidi rawan bencana. Sebaliknya, di Indonesia, segala subsidi pelan-pelan dihabisi.

“Bagaimana kita mau tidak ambruk kalau kompetitor kita di pasar dunia menyiapkan dengan serius pertaniannya,“ kata Yakub.

Sebelumnya, Wakil Dekan FEB-UGM, M Edhie Purnawan, menegaskan persaingan dunia di sektor pertanian adalah persaingan terhadap kedaulatan perekonomian sebuah bangsa. Tidak bisa dimungkiri bahwa selama ini negara-negara di dunia sedemikian protektif terhadap sektor dan industri manufaktur di bidang pertanian. Bahkan, negara-negara maju sekalipun, mereka sangat sensitif ketika memperjuangkan farmer dan rancher mereka.

“Bagi Indonesia, perjuangan di sektor pertanian terihat kurang hebat. Perjuangan di sektor ini sangat mendesak karena sektor ini menguasai penghidupan banyak sekali rumah tangga Indonesia,“ jelas Edhie.

Minim Respons

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Imron Mawardi, menambahkan dengan pertambahan jumlah penduduk hingga kini mencapai sekitar 230 juta jiwa, dengan pertumbuhan penduduk 1,50 persen per tahun, pemerintah mestinya sigap dan cepat mengantisipasi keperluan nasional dengan menyediakan kebutuhan pangan dari sumber negara sendiri.

“Laju pertumbuhan penduduk yang cepat mengharuskan pemerintah mampu menjaga ketersediaan, aksesibilitas, dan kualitas sumber makanan. Hal itu menjadi modal untuk menunjang ketahanan pangan karena pangan merupakan kunci dari keamanan nasional. Sayangnya, respons pemerintah terhadap hal ini sangat kurang,“ jelas Imron. YK/mza/WP

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/132790/hl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar