Senin, 04 November 2013

Menyoal Kebijakan Ekonomi Pro Asing

4 November 2013

Oleh: Sorta Pandiangan, SE. Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945, terutama Ayat 3, dikatakan Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Isi pasal ini merupakan buah pikiran para pendiri bangsa ini untuk menyejahterakan rakyatnya. Lebih lanjut, hal itu dijabarkan dalam ayat berikutnya atau keempat yang berbunyi perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Tetapi, apa yang terjadi setelah 68 tahun kita merdeka?

Benarkah kemakmuran yang dicita-citakan seperti yang diamanatkan dalam UUD itu telah tercapai? Menurut lembaga Indonesia for Global Justice, pengelolaan kekayaan alam Indonesia selama ini bahkan lebih banyak memberikan keuntungan bagi pihak luar dibandingkan manfaatnya bagi rakyat Indonesia sendiri. Di situ disebutkan, secara neto, pada tahun ini, total setoran negara kepada pihak asing mencapai sekitar 884 triliun rupiah atau hampir dua kali lipat nilai pertumbuhan ekonomi 2013 yang sebesar 468 triliun rupiah (produk domestik bruto/PDB atas dasar harga berlaku). Menurut lembaga itu, kesimpulan tersebut didapat berdasarkan perbandingan antara aliran dana dari Indonesia yang harus disetorkan kepada pihak asing dan nilai pertumbuhan ekonomi 2013.

Aliran dana dari RI yang disetorkan ke luar itu terdiri atas pembayaran utang pemerintah (cicilan pokok dan bunga), utang swasta jatuh tempo, defisit transaksi berjalan, dan keuntungan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Tentu kita bukan anti-asing atau buru-buru menyalahkan bangsa lain. Sebaiknya kita memang lebih melihat ke dalam. Pasti ada yang salah dengan kebijakan ekonomi kita selama ini. Ekonom Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, YS Susilo, mengakui memang sangat disayangkan bila kekayaan alam Indonesia yang berlimpah itu pada akhirnya justru lebih banyak memberikan keuntungan kepada bangsa lain.

Beberapa waktu lalu, mantan menteri keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di era Orde Baru, Johannes Baptista (JB) Sumarlin, juga pernah mengatakan kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia masih menyisakan sejumlah masalah yang memprihatinkan, terutama jumlah kemiskinan yang masih tinggi, kesenjangan sosial yang masih besar, serta ada kecenderungan ekonomi liberal, individual, dan pasar bebas. Apabila situasi seperti itu terus dibiarkan, Sumarlin khawatir Indonesia bisa menjadi negara yang tidak lagi berdasarkan kerakyatan, kekeluargaan, dan gotong royong. Hal itu bertentangan dengan jiwa UUD 1945. Koreksi atau kritik dari para pakar ekonomi ini hendaknya bisa menjadi masukan bagi pemerintah, terutama pemerintahan yang terpilih kelak pada Pemilu 2014.

Koreksi

Artinya, harus ada koreksi mengenai arah pembangunan ke depan agar ada perubahan yang lebih baik pada taraf hidup masyarakat. Susilo menyarankan berdasarkan empat sumber aliran dana negara yang mengalir ke luar, pembayaran kewajiban utang pemerintah dan defisit transaksi berjalan merupakan dua sumber yang segera harus diperbaiki. Untuk menekan defisit transaksi berjalan, lanjut Susilo, yang perlu segera dilakukan pemerintah adalah menghemat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) untuk mengurangi impor BBM kronis yang mencapai 250 triliun rupiah setahun.

Selain itu, pemerintah harus segera merealisasikan program kedaulatan pangan guna memangkas impor pangan yang mencapai 100 triliun rupiah setahun.  Sebetulnya, jika berpijak pada ekonomi Pancasila seperti yang diamanatkan dalam konstitusi, arah pembangunan kita cukup ideal, yaitu memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sayangnya, untuk urusan minyak dan gas (migas) saja, negara tak bisa mengaturnya secara optimal. Selama ini, peran negara sebatas menerima manfaat ekonomis dari eksplorasi migas, tetapi tidak mendapatkan manfaat strategis yang berujung pada kemakmuran rakyat seperti yang tertera dalam konstitusi, begitu pun dalam soal impor pangan yang kian memiskinkan petani.

Lihat saja misalnya perpanjangan kontrak pihak asing atas pengelolaan blok-blok migas yang habis masanya bisa bermakna pengulangan kesalahan sejarah dan karena itu mestinya tidak boleh terjadi. Pertama, karena kontrak pihak asing selama ini atas blok-blok migas jelas mengabaikan konstitusi yang tandas mengamanatkan bahwa sumber daya ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak wajib dikuasai negara. Kedua, karena pengelolaan blok-blok migas oleh pihak asing juga terbukti relatif tidak menyejahterakan rakyat. Pihak yang diuntungkan hanya sedikit kelompok. Itulah para pemburu rente. Sementara rakyat kebanyakan sedikit sekali bisa menikmati manfaat ekonomi sumber daya migas ini. Buktinya, tingkat kemiskinan masih saja relatif tinggi.

Padahal alasan untuk menyejahterakan rakyat ini yang dulu di awal Orde Baru melandasi kebijakan pemerintah memberikan kontrak pengelolaan blok-blok migas kepada pihak asing, di samping alasan bahwa saat itu kita belum sanggup secara ekonomi maupun teknis. Kini, perusahaan-perusahaan nasional entah BUMN ataupun swasta boleh diandalkan dalam mengelola lapangan migas ini. Mereka memiliki kemampuan teknis-teknologis maupun ekonomis. Itu sudah mereka tunjukkan dalam mengelola sejumlah lapangan migas di dalam negeri atau bahkan di mancanegara. Dalam konteks itu, mereka jelas bersaing dengan perusahaan-perusahaan pertambangan milik raksasa kelas dunia seperti Total (Prancis), British Petroleum dan Shell (Inggris), juga Chevron dan ExxonMobil (Amerika Serikat). Karena itu, sungguh naif jika kontrak pihak asing atas blok-blok migas yang habis masa malah diperpanjang.

Patut Diragukan

Dalih bahwa perusahaan-perusahaan nasional tidak meyakinkan dalam kemampuan ekonomi maupun penguasaan aspek teknis-teknologis Untuk mengambil alih pengelolaan blok-blok migas itu amat mengada-ada. Dalih itu lebih terasa sekadar pembenaran alias justifikasi atas sikap pro asing. Begitu pula alasan bahwa potensi migas di blok-blok yang habis masa kontrak itu relatif tinggal sedikit, sehingga kegiatan eksploitasi pun cenderung tidak efisien, juga patut diragukan. Bahkan alasan tersebut tidak masuk akal dengan kenyataan bahwa pihak asing sendiri begitu gigih untuk bisa memperoleh perpanjangan kontrak.

Jadi, sudah saatnya perusahaan-perusahaan nasional diberi kepercayaan melanjutkan pengelolaan blok-blok migas habis masa kontrak yang selama ini dikangkangi asing. Sekali lagi, kesanggupan mereka untuk itu relatif sudah bisa diandalkan. Ini sekaligus juga menjadi landasan untuk mengoreksi kekeliruan sejarah: pengelolaan lapangan migas tidak mengindahkan amanat konstitusi. Dalam konteks itu, semangat nasionalisasi industri migas di Bolivia dan Venezuela bisa menjadi rujukan. Bukan saja nasionalisasi itu berlangsung relatif lancar dan aman, melainkan terutama nyata-nyata berdampak menyejahterakan rakyat.***

Penulis adalah pemerhati sosial, politik dan ekonomi kemasyarakatan.

http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/60037/menyoal-kebijakan-ekonomi-pro-asing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar